Kementerian Perindustrian menyoroti lonjakan impor kertas dari China padahal produksi dalam negeri dinilai cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri. Impor pulp dan kertas pada semester-I 2025 mencapai US$ 1,69 miliar. Angka ini naik dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 1,53 miliar.
Plt Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika mengatakan industri pulp dan kertas dalam negeri tengah menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, pemberlakuan standar quality control order yang membatasi impor masuk ke India. Kedua, impor produk kertas dari China meningkat. Ketiga, tingginya harga gas sebagai salah satu sumber energi industri. Keempat, ketersediaan bahan penolong industri, seperti garam industri.
"Kalau kita lihat impornya USD 3,2 miliar (2023) naik menjadi US$ 3,4 miliar (2024) dan ini di 2025 kalau kita inikan menjadi sekitar US$ 3,6 miliar. Nah ini memang sedang kita cermati, karena hampir seluruh kertas dapat produksi dalam negeri, tapi impor masih tinggi sekali di angka US$3 miliar," ujar Putu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), Selasa (11/11/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putu menerangkan impor produk kertas dari China terus meningkat, terutama kertas ivory dan kertas duplex yang digunakan untuk kemasan. Selain itu, industri pulp dan kertas dalam negeri juga tengah menghadapi tantangan dari segi bahan baku.
Putu menerangkan Uni Eropa tengah mengeluarkan kebijakan untuk mengatur ekspor kertas daur ulang. Untuk mengatasi hal ini, pihaknya tengah memfasilitasi Indonesia agar masuk ke country list kebijakan European Union Waste Shipment Regulation (EUWSR) guna mendukung jaminan bahan baku kertas daur ulang.
"Jadi, kertas daur ulang ada sekitar 30-37% berasal dari Uni Eropa dan Uni Eropa mengeluarkan mengatur mengendalikan ekspor kertas daur ulang dan ini kita fasilitasi upaya kita lakukan diantaranya memasukkan Indonesia dalam country list sehingga perusahaan kita bisa impor bahan baku kertas daur ulang dari Eropa," jelas ia.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Komite Bahan Baku Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Irsyal Yasman mengatakan penyebab industri pulp dan kertas tak terlepas dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Selain itu, ada sejumlah perjanjian dagang yang menyebabkan arus barang masuk dari China menjadi lancar, seperti ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
"Dua perjanjian ini di dua-duanya itu sebetulnya agak merugikan (industri) kertas. Di China-FTA masih bisa menggunakan tarif imbalan khususnya barang masuk dari china. Kalau China mengenakan 2-6 persen, kita masih bisa menggunakan tarif resiprokalnya 5%. Kalau perbedaan 1-2 persen masih bisa bersaing," terangnya.
Namun dalam perjanjian RCEP, ia menyebut Indonesia membebaskan sekitar 224 kode HS (Harmonized System) dari China. Sementara China hanya membebaskan hanya 13 HS Code asal Indonesia.
"Pos tarif yang akan dibebaskan China ini hanya 13 pos tarif. Sementara, kita membebaskan China 224 pos tarif. Nah yang mengkhawatirkan kami lagi revisi Permendag yang mulai berlaku 29 Agustus di mana 441 HS code untuk produk kayu dan kehutanan termasuk pulp dan kertas tanpa lagi persetujuan impor jadi bebas masuk sebebas-bebasnya," imbuh dia.
Simak juga Video Purbaya Bakal Sikat Pelaku Impor Pakaian Bekas!











































