Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Berodjonegoro menjelaskan salah satu alasan pemerintah menawarkan PINA lantaran kebutuhan dan pembangunan infrastruktur dari 2015-2019 mencapai Rp 4.769 triliun.
Sementara APBN/APBD hanya sanggup membiayai 41,3% (Rp 1.951,3 triliun), lalu bagian BUMN 22,2% (Rp 2.817,7 triliun), sementara partisipasi swasta diharapkan sebesar 36,5% (Rp 1.751,5 triliun).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita melakukan sosialisasi ini di sini karena di negara lain sudah ada best practice-nya. Kita bukan yang pertama," tuturnya di Grand Ballroom Kempinsky, Jakarta, Kamis (18/1/2018).
Bambang jauh lebih berharap para pengelola dana jangka panjang seperti dana pensiun (dapen), asuransi dan pengelola dana untuk bisa ikut masuk ke PINA. Menurutnya peran swasta dalam pembangunan infrastruktur bisa masif jika ada keterlibatan lembaga-lembaga tersebut.
Namun sayangnya, kata Bambang, para Dapen masih konservatif dalam mengelola dananya. Mereka lebih memilih cari aman untuk menempatkan dananya di deposito.
"Hasil investasi dapen harus maksimal, nah bagiamana caranya, sayangnya mereka masih senang taruh di deposito. Waktu saya di Kemenkeu didorong masuk ke SUN dan saham sedikit, tapi yang infrastruktur sangat jarang. Tapi mereka ini sangat pusing, karena pemerintah dan BI ingin suku bunga rendah supaya pergerakan ekonomi cepat. Lah kalau turun bagaimana caranya kasih dampak yang baik buat peserta," imbuhnya.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso mengaku siap untuk mendorong para pengelola dan pensiun dan pengelola dana jangka panjang lainnya untuk ikut berperan serta dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia.
"Kami siap memfasilitasi pembangunan ekonomi melalui program-program pemerintah. Kalau hanya menjaga industri keuangan sehat mah gampang, peraturan diketatin sudah aman, OJK tinggal tidur. Tapi tidak begitu, OJK harus skill full untuk mengatur bagaimana mereka bermanfaat bagi pembangunan," tuturnya. (dna/dna)