Pemerintah Pastikan Tak Ada Mark Up Proyek LRT, Apa Buktinya?

Pemerintah Pastikan Tak Ada Mark Up Proyek LRT, Apa Buktinya?

Trio Hamdani - detikFinance
Sabtu, 23 Jun 2018 10:45 WIB
Pemerintah Pastikan Tak Ada Mark Up Proyek LRT, Apa Buktinya?
Foto: dok. detikcom
Jakarta - Biaya pembangunan light rail transit (LRT) di Indonesia dinilai kemahalan oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Ia pun menuduh biaya Pembangunan LRT Palembang sudah di-mark up.

Menurut data yang diperolehnya, biaya pembangunan LRT di dunia hanya berkisar US$ 8 juta/km. Sedangkan di Palembang, dengan panjang lintasan 24,5 km, biayanya hampir Rp 12,5 triliun atau US$ 40 juta/km.

Benarkah semudah itu proyek LRT di-mark up? Apakah angka yang disodorkan Prabowo sebesar US$ 8 juta/km untuk pembangunan LRT Palembang masuk akal?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk mengetahui lebih lanjut, simak informasi selengkapnya.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan statemen Prabowo mengenai biaya pembangunan LRT di Palembang di-mark up merupakan statemen tanpa data.

"Itu nggak benar. Sebaiknya sebagai orang yang pandai harus meneliti dulu masukan dari timnya, karena angka dugaan itu bukan angka yang benar," kata d Menhub saat dihubungi detikFinance, Jumat (22/6/2018)

Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Zulfikri mempertanyakan dasar tuduhan Prabowo adanya mark up di proyek tersebut.

Dia memastikan tak ada mark up di proyek LRT Palembang karena dalam proses menentukan biaya pembangunan sudah dibantu konsultan internasional berpengalaman.

"Nah, ini saya nggak tahu yang dimaksud dengan mark up apa. Jadi dari perencanaan pun kita sudah dibantu oleh konsultan internasional yang berpengalaman," katanya kepada detikFinance, Jakarta, Jumat (22/6/2018).

Tahapan menggunakan konsultan ini, kata Zulfikri dimulai dari kontraktor proyek yang mengajukan usulan terkait desain hingga biaya pembangunan LRT. Usulan diberikan ke Kemenhub.

"Nah mereka mengusulkan desain itu dan biayanya. Kami dari Kementerian Perhubungan/Ditjen Perkeretaapian, kita di-backup sama konsultan internasional untuk evaluasi usulan biaya dan desain yang disampaikan kontraktor," jelasnya.

Usulan tersebut dievaluasi oleh konsultan. Kemudian nanti konsultan mempertimbangkan untuk memangkas biaya dan lain sebagainya.

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) meyakini sulit mencari celah melakukan mark up di proyek tersebut.

Direktur Jenderal Perkeretaapian Zulfikri menjelaskan bagaimana ketatnya proses penyaringan atau screening terhadap ketetapan biaya pembangunan proyek tersebut. Bahkan disebutnya berlapis-lapis.

Dalam hal ini, kontraktor pun tak bisa sembarangan dalam menentukan biaya pembangunan. Usulan yang mereka ajukan harus dievaluasi secara berlapis, mulai dari konsultan internasional, auditor internal Kemenhub, hingga Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Dia mengusulkan ke kita sebagai pemilik proyek. Nanti kita minta bantuan konsultasi untuk evaluasi usulan teknis dan usulan biayanya," jelasnya.

"Sebelum konsultan masuk, kita juga ada Irjen, audit internal dari Kementerian Perhubungan, inspektorat jenderal," lanjut Zulfikri.

Setelah itu, baru pihaknya berkontrak dengan kontraktor. Dalam proses pelaksanaan pembangunannya pun, konsultan masih dilibatkan.

Lalu berdasarkan aturan berlaku, setiap pembayaran atas perkembangan proyek yang digarap kontraktor pun harus direview oleh BPKP. BPKP melihat pekerjaan yang dilakukan kontraktor, dan sejumlah hal lainnya.

Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Zulfikri menganggap membandingkan angka tersebut harus secara apple to apple atau setara.

"Kalau kita nggak lihat apple to apple dengan pekerjaan yang sama, sebenarnya nggak pas kita bandingkan itu," katanya kepada detikFinance.

Kata dia ada sejumlah faktor yang mempengaruhi biaya pembangunan LRT.

"Nah sekarang saya tanya US$ 8 juta itu kan Rp 100 miliar, itu variasinya banyak banget kalau kita bicara biaya pembangunan LRT, apakah dia di atas tanah, apakah dia elevated. Itu sendiri sudah menjadi satu pertanyaan," jelasnya.

Selain itu, kata dia juga harus dilihat perbandingan teknologi hingga fasilitas yang tersedia, misalnya jumlah stasiun, hingga sistem persinyalan kereta.

"Jumlah keretanya juga, berapa trainset, tadi bervariasi dia. Kalau mau dibandingkan yang benar benar apple to apple ya tadi, mungkin, misalnya struktur. Strukturnya sendiri sudah beda kan," terangnya.

Untuk LRT elevated dengan yang dibangun di atas tanah saja menurutnya biayanya jauh berbeda. Bahkan untuk sesama proyek LRT di Indonesia saja biayanya bisa berbeda.


Hide Ads