Direktur utama William Sabandar menjelaskan saat MRT beroperasi, ada bisnis lain yang dilakukan oleh perusahaan untuk menghasilkan pendapatan.
Dengan biaya investasi Rp 16 triliun, MRT akan mengeruk pendapatan dari bisnis non tiket selain mengeruk pendapatan tiket dari jumlah penumpang yang ditargetkan bisa diangkut 130.000 orang penumpang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut dilakukan agar MRT Jakarta bisa menutupi biaya investasi yang besar dan tak terus membebani dengan subsidi. Karena pendapatan dari tiket yang disubsidi tidak akan bisa menghasilkan keuntungan.
Misalnya nama stasiun juga bisa dibeli oleh pihak lain, penempatan iklan dan telecommunication system hingga ritel juga bisa dijual.
"Pemberian nama stasiun itu juga bisa kita jual. Jadi kalau bicara soal pemanfaatan di kawasan stasiun, pembangunan TOD bisa masuk dalam tahap berikutnya setelah beroperasi," ujar dia.
William menjelaskan untuk konsep TOD yang ada di lingkungan MRT tak hanya mengenai hunian. Namun bagaimana menghubungkan kawasan seperti hunian, transportasi hingga area komersial.
Dia mencontohkan jadi nantinya jika ada gedung-gedung yang mau menaikkan bangunanya dia harus memberikan bayaran untuk mekanisme pengelolaan kawasan.
"Jadi ada cross subsidi atau sesuatu yang menambah manfaat, namun kemudian pemilik gedung harus memberikan dan membangun kawasan, sehingga dia tumbuh bersama," jelas dia.
Menurut William, ini adalah konsep baru di Indonesia. Belum pernah diterapkan, tapi sukses digunakan di beberapa negara lain seperti Hong Kong dan Jepang.
Baca juga: Mau Coba MRT Jakarta Gratis? Begini Caranya |











































