4 Derita Vendor Lokal Kerja Sama dengan BUMN

4 Derita Vendor Lokal Kerja Sama dengan BUMN

Vadhia Lidyana - detikFinance
Sabtu, 10 Apr 2021 09:00 WIB
Logo baru Kementerian BUMN/Screenshot video
Foto: Logo baru Kementerian BUMN/Screenshot video
Jakarta -

Bekerja sama dengan proyek BUMN ternyata tak mudah bagi vendor lokal. Berbagai tantangan harus dihadapi, terutama menyangkut masalah keuangan.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Andi Rukman N Karumpa, mengungkapkan, hal-hal yang menjadi tantangan bagi vendor lokal ini sudah menjadi penyakit lama BUMN. Setidaknya, ada 4 tantangan yang harus dihadapi vendor lokal ketika bekerja sama dengan BUMN:

1. Berutang Sana-sini

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Andi menerangkan, BUMN mengajak vendor lokal karena melihat peralatan dan material yang dimiliki, serta dinilai lebih baik untuk pengerjaan proyek, ketimbang mengerjakannya sendiri.

"Jadi mohon maaf, kadang-kadang ada BUMN yang mendapatkan proyek cukup besar di daerah itu, daripada investasi alat, apalagi kalau proyeknya tidak multiyears, lebih baik dia memberdayakan pengusaha lokal yang punya kemampuan dan punya alat. Nah teman-teman pengusaha daerah punya alat, lalu bekerja sama dengan mereka," jelas Andi kepada tim Blak-blakan detikcom, Kamis (8/4/2021).

ADVERTISEMENT

Namun ternyata, seringkali material yang disediakan para vendor lokal untuk mengerjakan proyek BUMN seringkali merupakan hasil berutang dari toko material bangunan.

"Alatnya ada, materialnya ada. Walaupun mereka masih berutang di toko-toko bangunan dan segala macam," ujar Andi.

2. Proyek Nggak Dibayar-bayar

Meski sudah berutang untuk mendapat modal dalam mengerjakan proyek BUMN, ternyata pembayarannya tak langsung diterima. Padahal, pembayaran yang molor ini mempunyai efek domino. Pasalnya, tak jarang vendor lokal yang mengerjakan proyek BUMN dengan subkontrak turut mengajak para pengusaha kecil sekelas UMKM lainnya untuk turut membantu pengerjaan proyek tersebut.

"Misalnya ada subkontrak, dikasih pekerjaan oleh BUMN senilai Rp 200 miliar. Tapi karena subkontrak itu juga diteriaki pengusaha kecil di sana, akhirnya dia mengambil anggota-anggotanya. Dibagi pekerjaan itu, ada yang Rp 3 miliar, ada yang Rp 5 miliar untuk mengurusi dump truck, atau pasir, atau batu, segala macam," tuturnya.

Dari sanalah terjadi efek domino. Dengan pembayaran yang molor, maka pengusaha kecil yang ikut membantu subkontrak ikut berteriak.

"Nah pada 1-3 bulan kemudian yang kecil-kecil ini menagih ke subkontrak, ternyata dia tak bisa bayar. Karena belum dibayar juga sama BUMN-nya. Jadi tidak bisa bernapas kita. Akhirnya pengusaha kecil yang ikut ke subkontrak ini teriak karena berutang di luar," urai Andi.

Lanjut halaman berikutnya soal derita vendor lokal kerja bareng BUMN.

3. Pembayaran Molor Bertahun-tahun, Vendor Mau Untung Malah Buntung

Andi mengatakan, setiap proyek yang dikerjakan vendor lokal pasti pada akhirnya akan dilunasi oleh BUMN. Namun, pelunasannya ini menelan waktu bertahun-tahun.

"Pada intinya, tidak ada beban BUMN terhadap vendor atau joint operation, atau subkontrak terhadap pengusaha-pengusaha daerah itu yang tidak dibayarkan. Pasti akan terbayarkan, mau ganti direksi atau apapun pasti akan diselesaikan. Yang menjadi persoalan adalah penyelesaiannya ini yang bertahun-tahun," ungkap Andi.

Lamanya pembayaran itulah yang membuat para vendor lokal, terutama yang mengerjakan proyek di daerah bukan untung, tapi buntung.

"Jadi teman-teman di daerah ini tidak dapat untung, tapi dapat buntung. Itu saja persoalannya," tegas Andi.

4. Ada BUMN Serakah

Salah satu penyebab banyaknya vendor lokal tak kunjung dilunasi pembayarannya setelah menyelesaikan proyek BUMN ialah keserakahan perusahaan pelat merah itu sendiri.

"Ada 1-2 BUMN yang arus kasnya masih baik. Ada juga beberapa BUMN yang serakah. Sudah arus kas tidak bagus, caplok kiri-kanan, banting harga, ya kondisinya seperti itu," kata Andi.

Namun, penyebabnya tak hanya itu. Menurut Andi, banyak BUMN yang harus menerima penugasan proyek infrastruktur meski arus kas perusahaan tak sepenuhnya memadai.

"Jadi menurut saya, karena cashflow BUMN yang terus dipacu mengerjakan infrastruktur, menurut saya karena itu. Misalnya, hei Anda BUMN A kerjakan proyek ini, BUMN B kerjakan proyek pasar ini, BUMN C kerjakan proyek kantor perwakilan atau jalan provinsi. Kamu kerja ini, ini, ini. Pada saat mereka kerja, anggarannya tidak ada," ungkap Andi.

Oleh sebab itu, ketika vendor lokal yang digaet untuk mengerjakan suatu proyek menagih pembayaran, BUMN pun tak bisa melunasinya saat itu juga. Ditambah lagi dengan pandemi COVID-19 ini yang semakin menekan arus kas BUMN.

"Rata-rata proyek yang masih dikerjakan sekarang itu kan carry over, pekerjaan tahun kemarin. Dan karena COVID-19 akhirnya dilakukan refocusing semua anggarannya. Otomatis BUMN-BUMN kita ini kan menjerit karena tidak dibayar. Jadi bagaimana dia mau membayar ke vendor kalau mereka sendiri tidak dibayar pemerintah," tandas Andi.


Hide Ads