Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan biaya membangun LRT Jabodebek tidak semuanya berasal dari keuangan negara. Menurutnya, proyek ini dijalankan dengan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha alias KPBU.
Dia menjelaskan uang negara hanya diberikan sebanyak Rp 7,6 triliun ke PT KAI lewat skema penyertaan modal negara (PMN). Sisa biayanya Rp 20 triliun lebih didapatkan dari pinjaman yang dilakukan PT KAI dan sederet BUMN yang berpartisipasi dalam proyek ini.
"Tidak semua ini merupakan uang pemerintah. PT KAI hanya dapat satu PMN Rp 7,6 triliun. Sisanya Rp 20 triliun lebih menjadi loan PT KAI," ungkap Budi Karya usai mendampingi Presiden Joko Widodo menjajal LRT Jabodebek, Rabu (9/6/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Proyek ini sendiri melibatkan banyak BUMN. Mulai dari PT KAI yang akan ditunjuk sebagai operator, PT Adhi Karya selaku kontraktor, PT INKA sebagai penyedia kereta, hingga PT LEN yang mengatur soal persinyalan.
Dia mengatakan ke depannya proyek LRT juga akan dilakukan di berbagai kota, KPBU akan menjadi skema pembiayaannya. Dia mengajak pihak swasta untuk lebih banyak ikut andil dalam proyek pemerintah semacam ini.
"Skema KPBU jadi satu bentuk skema yang jadi modal di kota lain. Saat ini PT KAI, lain waktu perusahaan lain akan diperankan. Oleh karenanya kita berikan kesempatan ke swasta untuk berperan dan turut serta dalam pembangunan nasional," ungkap Budi Karya.
Dalam catatan detikcom, proyek LRT Jabodebek menelan anggaran hingga Rp 29,9 triliun. Pemerintah menyuntikkan PMN kepada PT KAI Rp 7,6 triliun dan PT Adhi Karya Rp 1,4 triliun, sisanya didapatkan dari pinjaman.
Untuk pembangunan prasarana dan sarana LRT Jabodebek mencakup tiga lingkup pekerjaan. Di antaranya adalah pekerjaan jalur, pekerjaan stasiun, depo dan OCC, serta pekerjaan fasilitas operasi dan trackwork.
Dari ketiga lingkup pekerjaan ini, total biaya proyek LRT Jabodebek mencapai Rp 20,752 triliun atau sebesar Rp 467,08 miliar/km.
Baca juga: LRT Jabodebek Wira-wiri di DKI Tahun Depan |