PUPR Curhat Soal Backlog Perumahan, Bagai Isi Bak Tak Penuh-penuh

PUPR Curhat Soal Backlog Perumahan, Bagai Isi Bak Tak Penuh-penuh

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Rabu, 21 Jun 2023 12:28 WIB
Sejumlah warga beraktivitas di kawasan perumahan subsidi BTN kawasan Griya Srimahi Indah, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (30/1/2023).
Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melaporkan, hingga saat ini angka backlog atau kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan rumah di Indonesia masih sangat tinggi, mencapai 12,7 juta. Penyelesaian persoalan ini terbilang sulit untuk diselesaikan, bagai mengisi bak tapi tak penuh-penuh.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pembiayaan Infrastruktur dan Perumahan, Herry Trisaputra Zuna mengatakan, setiap tahunnya ada penambahan sekitar 780 ribu rumah tangga yang harus dirumahkan oleh pemerintah.

Dengan demikian, demi mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045 tanpa backlog perumahan, pemerintah harus mendorong penyediaan perumahan setidaknya sebanyak 1,5 juta setiap tahunnya. Di sisi lain, saat ini pemerintah baru dapat mendorong penyediaan rumah sebanyak 200-300 ribu per tahunnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Itu seperti ngisi bak dengan debit 300 ribu tapi keluarnya 780 ribu. Jadi nggak akan pernah penuh. Jadi backlog tadi akan terus seperti itu," kata Herry, dalam Forum Discussion Grup (FGD) bersama Korpri dan BP Tapera, Rabu (21/6/2023).

Pemerintah sendiri berupaya menyelesaikan permasalahan backlog perumahan ini lewat sejumlah program, antara lain fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi bantuan uang muka (SBUM), dan Tapera. Namun nyatanya, ketiga program ini masih kurang untuk dapat membantu pemenuhan penyediaan perumahan, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

ADVERTISEMENT

"Dengan angka ini seharusnya kita bisa berpikir, apa yang harus dilakukan, bagimana masing-masing dari kita berperan," imbuhnya.

Selain persoalan backlog perumahan, keberadaan rumah tidak layak huni juga menjadi salah satu perhatian utamanya. Herry mengatakan, di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tercatat target penyediaan rumah layak huni minimal mencapai 70%. Sementara hari ini, jumlahnya baru mencapai 56,7% rumah layak huni di Indonesia atau sebanyak 7,8 juta rumah tangga.

Selain itu, permasalahan lainnya ialah pemenuhan kebutuhan rumah untuk masyarakat yang bekerja di sektor informal. Padahal diketahui angkatan kerja di sektor informal merupakan yang terbesar, tetapi dukungan pembiayaan perumahannya justru menjadi yang paling kecil dibandingkan sektor lainnya.

"Kenapa? Karena kita serahkan ke mekanisme pasar. Bank itu yang dicari yang aman. Giliran yang informal baru masuk halaman nggak diterima," imbuhnya.

Berkaca pada banyaknya permasalahan perumahan ini, Herry menilai perlu adanya penguatan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah. Menurutnya, persoalan ini tidak dapat serta merta dipegang oleh pemerintah pusat secara penuh mengingat pemerintah daerah lah yang lebih mengetahui kondisi lapangan serta data-data pendukungnya.

"Bagaimana misalnya UU 23 yang membatasi pemda untuk berurusan dengan MBR ya harus kita ubah. Yang punya MBR itu justru kab/kota. Tapi hari ini ketika kab/kota menyentuh MBR jadi salah. Nah ini menurut saya fundamental yang harus kita ubah," ujarnya.

Tonton juga Video: Disebut Salah Baca Data Pembangunan Era Jokowi Vs SBY, Ini Jawaban Anies

[Gambas:Video 20detik]




(das/das)

Hide Ads