Serba-serbi Proyek Giant Sea Wall yang Libatkan Prabowo Disentil Cak Imin

Serba-serbi Proyek Giant Sea Wall yang Libatkan Prabowo Disentil Cak Imin

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Selasa, 23 Jan 2024 09:15 WIB
Video yang dinarasikan tanggul laut raksasa (giant sea wall) Jakarta mengalami kebocoran beredar di media sosial. Tanggul pengaman pantai di pesisir utara Jakarta itu ditinggikan setiap dua tahun.
Ilustrasi/Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Proyek Tanggul Laut Raksasa atau Giant Sea Wall (GSW) kembali mendapat sorotan lantaran muncul dalam Debat Cawapres keempat pada hari Minggu kemarin. Dalam momentum tersebut, Calon Wakil Presiden (Cawapres) Nomor Urut 1, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menyebut kalau proyek tersebut tidak dapat mengatasi masalah.

Komitmen pembangunan proyek ini sebelumnya digaungkan kembali oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Pertahanan yang juga merupakan Calon Presiden (Capres) Nomor Urut 2, Prabowo Subianto dalam Seminar Nasional Giant Sea Wall pada 10 Januari lalu.

Pada kala itu, Prabowo menyebut, untuk membangun GSW di sepanjang Pantai Utara (Pantura) Jawa membutuhkan biaya sekitar Rp 778 triliun. Lalu berkaca pada pembangunan GSW di Belanda, dibutuhkan waktu 40 tahun untuk membangun infrastruktur ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah Giant Sea Wall

Berdasarkan penelusuran detikcom, wacana pembangunan GSW di Pantura tidak banyak dibahas. Namun justru dalam sejarahnya, yang banyak dibahas adalah tanggul laut raksasa untuk pesisir Jakarta. Adapun wacana pembangunannya mulai muncul pada era Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo pada 2007, berangkat dari peristiwa banjir rob besar pada tahun tersebut. Masterplan proyek ini pun rampung 2008, bekerja sama dengan konsorsium asal Belanda.

Realisasinya pun dijalankan pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui program Pengembangan Kawasan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) di sekitar 2014-an. Proyek ini hadir bersamaan dengan rencana reklamasi sejumlah pulau dan masuk ke Rencana Tata Ruang Wilayah DKI untuk 2010-2030.

ADVERTISEMENT

Namun demikian, rencana tersebut mendapat penolakan dari sejumlah ahli lingkungan. Bahkan Anies Baswedan saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta juga meminta agar proyek sepanjang 60 km ini dipertimbangkan ulang. Pada kala itu ia menilai, yang dibutuhkan Jakarta adalah pembangunan tanggul pantai, tapi kalau GSW merujuk kondisi di negara lain, justru membuat air menjadi tidak bersih. Akan menjadi semacam kobokan.

Kini, proyek ini kembali digaungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju. Termasuk di antaranya ialah Airlangga dan Prabowo. Pemerintah juga akan segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) atau Task Force untuk mempercepat pembangunannya.

Pengamat Nilai Pembangunannya Belum Urgent

Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja menilai, dibandingkan dengan membangun GSW, permasalahan mendesak yang perlu segera dicari solusinya oleh pemerintah adalah mengurangi dan memperlambat laju penurunan tanah.

"Caranya seperti data, monitoring, penindakan, relokasi jika perlu. Upaya konservasi pada Pantura serta perbaikan tepi pantai itu ada banyak cara, dan tidak melulu bikin tembok. Belum tentu solusinya cocok juga," kata Elisa kepada detikcom.

Sementara itu, Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Nirwono Joga menilai, pembangunan proyek GSW ini perlu dikaji ulang, terutama menyangkut biaya pembangunan hingga perawatan yang relatif mahal.

"Pembangunan Giant Sea Wall harus dikaji ulang terkait pendanaannya yang relatif mahal biaya pembangunan dan pemeliharaan/perawatannya, serta seberapa besar efektivitas ke depannya, misalnya dalam mengantisipasi ancaman Jakarta tenggelam," katanya dihubungi terpisah.

Selain biayanya yang mahal, Nirwono menilai, dampak pembangunan GSW terhadap lingkungan juga perlu mendapat perhatian. Alih-alih membangun tanggul, menurutnya masih ada sejumlah opsi lainnya dengan biaya lebih murah dan lebih ramah lingkungan yang bisa menjadi pertimbangan.

"Mengapa tidak memilih/memadukan dengan pendekatan yang lebih ramah lingkungan seperti restorasi kawasan pesisir Pantura Jakarta dan reforestasi mangrove sebagai benteng alami meredam banjir rob, tsunami, dan ancaman tenggelam yang berbiaya lebih murah dan mudah dalam jangka panjang," jelasnya.

(shc/rrd)

Hide Ads