Jakarta perlahan melepas cap sebagai kota termacet di dunia. Setidaknya, sejauh ini Jakarta bukan lagi menjadi kota termacet se-Indonesia.
Berdasarkan Indeks TomTom Traffic 2024, yang dipaparkan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Jakarta berada di peringkat kelima nasional berada di bawah Bandung, Medan, dan Palembang. Sementara itu, bila dilihat secara global saat ini posisi Jakarta ada di nomor 90 dari semua kota termacet sedunia.
Data tersebut seharusnya menyadarkan banyak pihak bahwa angkutan umum telah menjadi tulang punggung mobilitas Jakarta. Dari TransJakarta 24 jam, trotoar manusiawi, hingga integrasi tarif antarmoda. Semua adalah hasil estafet kepemimpinan yang saling melanjutkan, semua terjadi karena buah transformasi sistemik yang berjalan konsisten sejak 2004.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam catatan MTI, Minggu (10/8/2025), transformasi besar-besaran pada lalu lintas Jakarta pertama kali dilakukan oleh Gubernur Sutiyoso saat menjabat di 2004-2007. Di awal 2000-an, Jakarta tenggelam dalam lautan kendaraan pribadi dan angkot tak teratur.
Sutiyoso mengambil langkah revolusioner yaitu meluncurkan TransJakarta Koridor 1-sistem Bus Rapid Transit (BRT) pertama di Asia Tenggara. Dia juga meletakkan pondasi hukum melalui Pola Transportasi Makro (PTM), cetak biru yang menjadi DNA pengembangan transportasi ibu kota. Tanpa terobosan ini, Jakarta mungkin masih terperangkap dalam kemacetan abadi.
Lanjut ke era Fauzi Bowo di tahun 2007 hingga 2012, kesinambungan kebijakan dilanjutkan. Di bawah kepemimpinan Fauzi Bowo, Transformasi kelembagaan TransJakarta menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) memberi fleksibilitas operasional-langkah strategis yang sering luput dari sorotan. Dia memilih kerja sistemik sesuai latar belakangnya sebagai birokrat.
Tampuk kekuasaan Jakarta giliran dipegang Joko Widodo sebagai Gubernur di tahun 2012 hingga 2014. Di eranya memimpin Jakarta, Jokowi mengubah paradigma bahwa angkutan umum bukan proyek, tapi layanan publik esensial. Dia mengamankan pondasi finansial melalui Perda Penyelenggaraan BRT, menjamin alokasi anggaran jangka panjang. Peremajaan armada, dan sistem kontrak operator berbasis Service Level Agreement (SLA) menjadi standar baru.
TransJakarta pun beralih status menjadi BUMD, memperkuat akuntabilitas dan fleksibilitas respon pengembangan secara business wise. Jokowi juga secara langsung membesut pembangunan MRT Jakarta fase 1 Lebak Bulus - Bundaran HI sepanjang 15,8 kilometer yang menjadi sebuah terobosan baru di sistem transportasi Jakarta.
Melanjutkan Jokowi, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menekankan soal makna integrasi dan demokratisasi layanan transportasi di Jakarta sejak menjabat pada 2014 hingga 2017.
Ahok membawa terobosan radikal mengintegrasikan angkot ke dalam sistem BRT sebagai layanan feeder. Kebijakan ini menyatukan angkutan kecil dengan transportasi massal, sekaligus membuka akses bagi warga pinggiran. Membatasi gerak sepeda motor dengan melarang beroperasi di Jalan Jenderal Sudirman dan Thamrin.
Visinya jelas, yakni mobilitas harus inklusif untuk semua kelas sosial. Dia dan Jokowi juga berhasil mempercepat 13 koridor TransJakarta untuk dibangun, jaringan BRT merentang dari Taman Mini hingga Kalideres, Lebak bulus hingga Pulogadung. Menuntaskan 13 jalur busway hingga membangun jalur khusus jalan layang BRT (koridor 13).
Selain itu, di eranya juga Metro Mini dan Kopaja mulai digantikan dengan armada baru yang berpendingin. Tidak ditemukan lagi penumpang bergelantungan di angkutan umum.
Berlanjut lagi ke era Anies Baswedan yang memimpin Jakarta pada tahun 2017 hingga 2022. Di era kepemimpinannya Anies menempatkan manusia sebagai pusat desain urban. Trotoar membentang sepanjang 500 km, jalur sepeda permanen menghubungkan pusat kota, dan kawasan integrasi antarmoda seperti, Bundaran HI, CSW, Dukuh Atas disulap menjadi ruang hidup.
Puncaknya, layanan terpadu JakLingko yang memperluas integrasi angkot, tidak hanya dengan BRT tetapi juga MRT, LRT, TransJakarta, dan KRL dalam satu kartu.
Kini di era Pramono Anung perluasan transportasi umum dicanangkan. Melalui koordinasi tingkat nasionalnya, dia mendorong terobosan strategis, seperti perluasan jaringan BRT TransJabodetabek yang menghubungkan Kota Bekasi-Cibinong-Bogor dan Tangerang-BSD-Bandara Soetta.
Dia melakukan hal tersebut dengan membuka jalur Blok M - Perumahan Alam Sutera (Kota Tangerang Selatan), Blok M - PIK 2 (Kab. Tangerang), Cawang - Perumahan Vida (Kota Bekasi), Blok M - Botani Square (Kota Bogor), Dukuh Atas - Terminal Bekasi (Kota Bekasi),
Pramonon juga melakukan penyelesaian integrasi tarif regional menggunakan kartu JakLingko yang dapat memangkas biaya dan waktu perpindahan antarmoda.
Dia juga mencanangkan kebijakan insentif fiskal untuk pemerintah daerah penyangga yang mengembangkan BRT feeder, serta menggratiskan 15 golongan warga Jakarta menggunakan Bus Transjakarta.
Hasil kerja dari berbagai pemimpin Jakarta mulai nyata, volume kendaraan pribadi masuk Jakarta turun 18% di rentang 2023-2025, dan waktu tempuh Bekasi-Jakarta berkurang 40 menit. Angkutan umum di Jakarta telah mengcover 89,5% wilayah Jakarta.
Keberhasilan Jakarta adalah bukti transportasi umum hanya bermakna ketika kebijakan tak terputus oleh siklus politik. Maka dari itu ada beberapa usulan dari MTI untuk para pemimpin di Jakarta. Pertama, melakukan kesinambungan adalah kunci. Kebijakan transportasi membutuhkan waktu lebih 10 tahun untuk berbuah.
Kedua, integrasi transportasi sebetulnya dapat mengalahkan proyek mercusuar. Penyatuan angkot, bus, dan rail lebih berdampak daripada pembangunan moda tunggal.
Ketiga, kolaborasi lintas batas wajib hukumnya. Seperti Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung tunjukkan, isu metropolitan butuh koordinasi pusat dan daerah, begitu juga antara pemerintah daerah dan pemerintah daerah penyangganya.
(hal/kil)