Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan pemerintah tidak akan menanggung utang proyek Kerea Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kebijakan yang tepat, karena memang sejak awal skenarionya memang begitu.
Nampaknya, Pemerintah pada saat itu lebih memilih China daripada Jepang karena lima alasan. Pertama, meski Jepang menjadi perintis dengan Shinkansen-nya, namun teknologi dan prestasi China lebih cepat dari Jepang. Pada akhir 2021 saja China telah membangun dan mengoperasikan jaringan kereta api berkecepatan tinggi (HSR) sepanjang 40.000 km, sekitar dua pertiga dari total jalur kereta api kecepatan tinggi di seluruh dunia.
Pada akhir 2024 Administrasi Perkeretaapian Nasional China melaporkan, panjang total rel kereta api berkecepatan tinggi yang beroperasi di China saat ini telah mencapai sekitar 47.000 km, dari total total jaringan kereta api China yang 162.000 km. Jepang sendiri memiliki panjang jalur kereta cepat 2.830,6 km dari total jaringan kereta apinya yang 30.625 km.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, karena China setuju untuk menggunakan dana bisnis, dengan cara mendirikan kongsi antara perusahaan China dan perusahaan konsorsium BUMN Indonesia. Bagi Indonesia, terutama Pemerintah, ini menguntungkan, karena pinjaman menjadi beban perusahaan, dan terbatas kepada penyertaan perusahaan kepada kongsi bisnis tersebut. Tidak sampai "menyeret" seluruh kekayaan BUMN yang ikut kongsi, apalagi APBN. Jadi, strategi bisnisnya benar-benar strategi korporasi, bukan strategi administrasi (negara).
Ketiga, penawaran lebih murah. China, pada 11 Agustus 2015 menawarkan investasi 5,5 miliar dollar AS, 40% China, 60% BUMN, 25% modal bersama, 75% utang Bank of China, bunga 2%/tahun, dan konsesi 50 tahun. Pembayara dari korporasi, bukan dari APBN. Jepang (proposal kedua) menawarkan investasi 6,2 miliar dollar AS, pinjaman proyek 40 tahun bunga 0,1%/ tahun (turun dari 0,5%), masa tenggang 10 tahun, dibayar dari APBN.
Keempat, konsorsium mempunyai skenario pengembalian utang tidak dari tiket, karena memang tidak pernah mencukupi, bahkan konon selama 100 tahun pun, melainkan dari pengembangan properti. Kawasan Walini, di bawah kepemilikan BUMN PT Perkebunan Nusantara VIII, sekitar 16 km, secara geografik, setelah Bandung, atau 26,7 km melalui jalan raya, akan dijadikan "kota baru" dan hasil penjualan propertinya akan dijadikan sebagai pembayaran pinjaman, dengan perkiraan selama 18 tahun akan lunas. Jika pun terjadi pemunduran, dimungkinkan dilusi kepemilikan KCJB, karena toh kereta, apalagi rel-nya, tidak dapat dibawa kembali ke China. Artinya, beban bisnis dapat dialihkan ke China.
Kelima, pembangunan KCJB bisa menjadi pembelajaran untuk membangun jalur ka cepat Jakarta-Bandung, atau bahkan, bersama China, perusahaan ini dapat berekspansi ke kawasan lain di Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Proyek dikelola melalui PT KCIC (Kereta Cepat Indonesia China). Ada perusahaan patungan Indonesia yang disebut PSBI (Pilar Sinergi BUMN Indonesia), yang memiliki ~60% saham dalam KCIC, sedangkan sisanya (~40%) dimiliki pihak China (Beijing Yawan HSR Co. Ltd). Pendanaan proyek: sekitar 75% dari dana pinjaman (debt) dari China (CDB), sisanya 25% dari ekuitas/dana sendiri dari pihak konsorsium. Dari 25% penyertaan ekuitas tersebut, mayoritas kontribusi dari pihak Indonesia melalui PSBI / KAI dkk. Whoosh ditetapkan sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016.
Empat Kesalahan Besar
Kesalahan pertama adalah memindahkan stasiun kereta cepat dari Walini ke Padalarang dan Tegalluar. Kabar menyebutkan, ada pejabat senior di Pusat yang mengusulkan untuk memindahkan stasiun dari Walini ke Padalarang, dengan alasan efisiensi biaya dan Padalarang terkoneksi dengan layanan KAI. Walini adalah kawasan di mana BUMN (PTPN VIII) tidak memiliki lahan untuk dikembangkan sebagai instrumen pengembalian utang, sebagaimana skenario awal.
Sayang, usulan tersebut diterima Pemerintah. Peluang untuk mengembalikan dengan skema korporasi lenyap begitu saja. Artinya, pengembalian utang hanya dari tiket, tidak tercapai sampai 100 tahun. Benarlah analisis Almarhum ekonom UI Faisal Basri bahwa balik modal Whoosh tercapai dalam waktu 139 tahun, dengan asumsi penumpang terisi 100 persen setiap perjalanan. Kesalahan ini diperkuat dengan usulan pejabat senior di Jawa Barat untuk menambah penghentian di Tegalluar, yang sudah menjadi kawasan pengembangan salah satu pengembang raksasa.
Kesalahan ke dua, adalah berlarut-larutnya upaya pembebasan lahan dan pekerjaan non-teknis terkait. Total investasi awal yang US$ 5,5 milyar, dan sempai diturunkan menjadi US $ 5,1 milyar, malah membengkak, karena terjadi cost overrun proyek, mencapai sekitar US $ 7,27 miliar. Proyek yang seharusnya "aman terkendali" menjadi "tidak aman dan tidak terkendali", dan tidak pernah diperhitungkan di awalnya.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung resmi beroperasi pada Oktober 2023 dengan skema kepemilikan 60 persen oleh konsorsium Indonesia dan 40 persen oleh Tiongkok. Biaya proyek awal ini tercatat sebesar US$5,5 miliar (Rp 89,6 triliun) kemudian membengkak menjadi US$7,27 miliar (Rp 118,4 triliun) akibat cost overrun.
Kesalahan ke tiga, dan nampaknya tidak dapat dielakkan, adalah pandemi covid pada 2020 - 2022. Sebenarnya, ada skenario lain yang dapat dilakukan adalah, senyampang orang tidak banyak melakukan mobilisasi, artinya relatif tidak banyak gangguan, justru pembangunan dapat dipercepat, termasuk dengan optimalisasi mesin dan teknologi pembangunan jalur kereta yang dimiliki China.
Kesalahan ke empat, dan "mematikan", adalah Pemerintah menerbitkan Perpres No. 93 Tahun 2021 (perubahan Perpres No. 107/2015) di mana beban KCJB diubah dari korporasi menjadi (dapat) ke APBN. Diperkirakan, China memastikan bahwa pengembalian dari tiket tidak dimungkinkan, dan pengembangan kota baru Walini sudah tidak dimugkinkan, karena stasiun sudah dipindah ke kawasan di mana pengembangan properti tidak dikuasai pemilik KCJB. Lobi kepada pemegang mandat saat itu, Kementerian BUMN, nampaknya berhasil, dan Presiden tidak dapat menolak gagasan perubahan kebijakan tersebut.
Kereta cepat KCJB yang diberi nama Whoosh, kepanjangan "Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Handal", sejauh 143,3 km, diresmikan operasinya pada 2 Oktober 2023. Di sinilah babak belur dimulai. Jika pada awalnya PT PSBI dengan komposisi Wijaya Karya 38%, KAI dan PTPN VIII masing-masing 25%, dan Jasa Marga 12%. Ketika PTPN VIII "mundur", komposisinya menjadi KAI 58,53%, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk 33,36%, PT Perkebunan Nusantara I 1,03%, dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk 7,08%. Sebagai pemegang saham mayoritas, maka KAI secara proporsional harus menanggung kerugian, beban bunga pinjaman, dan kewajiban pembayaran utang/pinjamannya. Untuk beban bunga, diperkirakan mencapai sekitar Rp2 triliun/tahun.
Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI, Bobby Rasyidin, menyebut utang dan kerugian PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) dapat menjadi bom waktu bagi perseroan. Sepanjang semester I 2025 KCIC menelan kerugian hingga Rp 1,6 triliun. Pada periode yang sama, KAI mencatat total penyerapan kerugian mencapai Rp 1,424 triliun. Meski angka tersebut turun dibanding semester I tahun sebelumnya, yakni sebesar Rp 2,377 triliun.
Possible dan Plausible
Pertama, sudah dikerjakan Menkeu Purbaya, mengeluarkan pembiayaan KCJB dari APBN. Pekerjaan yang tidak mudah, karena sudah ada Perpres-nya. Selain, ke dua, ada "cara lain", sebagaimana usulan Danantara, yaitu menambah modal (equity) yang berarti menarik dana dari APBN melalui penyertaan modal (PMN), dengan trade-off menyerahkan infrastruktur KCIC kepada pemerintah,. Ke tiga, yang dijanjikan segera dilakukan Danantara, menegosiasikan utang dengan fihak China. Pekerjaan yang tidak mudah, karena untuk urusan seperti ini, biasanya harus sampai ke pemimpin puncak China. Nampaknya, keberadaan Indonesia yan mempunyai Presiden Prabowo, yang dikenal dekat dengan Presiden Xi Jinping, dapat membantu negosiasi.
Ke empat, kembali ke skenario pembayaran awal, meletakkan stasiun ke Walini, dan menjadikannya sebgai pusat kota baru dan didukung dengan rencana umum pengembangan Kota Walini dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinis Jawa Barat. Dengan konskuensi menutup lokasi sebelum Walini untuk memastikan kawasan ini maju dan jadi terlebih dahulu. Ke lima, tetap dengan kondisi saat ini, namun dengan menciptakan lokasi wisata yang super-atraktif di kawasan Tegalluar, yang menjadi destinasi terakhir KCJB. Salah satunya adalah membangun Disneyland di kawasan yang dimiliki Pemprov Jawa Barat di kawasan tersebut, sehigga menarik investor internasional.
Disneyland Hongkong dan Shanghai juga menjadi atraksi yang menjadikan jalur kereta cepatnya diisi oleh high end consumer. Apalagi, jika KCJB terkoneksi dengan Bandara Soekarno Hatta. Ke enam, secara korporasi, maka KAI mengeluarkan KCJB dari kesatuan bisnisnya, dan dijadikan sebagai kesatuan perseroan yang benar-benar terbatas, sehingga tanggung-jawabnya untuk memenuhi kebutuhan finansial KCJB dapat dikurangi secara signifikan, bahkan ditiadakan. Konsekuensiya, dapat terjadi dilusi kemilikan, sehingga konsorsium China menambah kepemilikannya, tanpa menambah konsesinya yang telah diperpanjang Menhub dengan rujukan Permenhub 38/2021 tentang Pengadaan Badan Usaha Dalam Penyelenggaraan Prasarana Perkeretaapian Umum, dari 50 tahun menjadi 80 tahun.
Keenamnya adalah pilihan yang "mungkin", atau possible, atau mungkin bahkan sekedar "masuk akal" atau plausible, yang dapat membantu Pemerintah dan KAI keluar dari kebuntuan. Dapat dipilih salah satu, atau kombinasi di antara keenamnya. Mungkin dari situ, masalah yang intraktabel dari kebijakan pembangunan dan penyelenggaraan KCJB dapat diselesaikan.
(hns/hns)