Praktisi ritel memperkirakan langkah redenominasi bisa mengundang praktek pembulatan harga ke atas terhadap suatu barang. Hal ini terjadi jika redenominasi tak dilengkapiΒ dengan mata uang pecahan dibawah nilai rupiah terkecil.
Ketua Harian Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta mengatakan, peluang ini bisa terjadi khususnya di toko-toko tradisional. Hal ini karena adanya kebiasaan masyarakat yang mentolelir pembulatan harga suatu barang.
Ia mencontohkan, misalnya untuk barang-barang dengan harga Rp 800-900 maka ada peluang dinaikan harganya menjadi Rp 1000 atau Rp 1 jika ada redenominasi tiga angka nol.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan soal masa transisi redenominasi yang memberlakukan mata uang baru dan lama, sebagai peritel moderen tak menjadikan hal ini masalah. Peritel moderen lebih mudah menyesuaikan sistem dua harga disetiap rak-rak harga yang ada di toko moderen.
"Memang perlu waktu seperti kasir harus di-training. Masalahnya adalah harus menyesuaikan bukan berarti tak ada masalah," katanya.
Dikatakannya, peritel moderen umumnya sudah memakai label harga yang menggunakan barcode. Namun yang jadi masalah adalah sistem harga yang dilakukan diluar toko moderen karena belum tersentuh oleh teknologi barcode.
"Memang dengan adanya redenominasi penulisan akuntansi lebih mudah. Sekarang pun kita biasa dengan penulisan yang tak seluruhnya misalnya penulisan dalam ribuan dan dalam jutaan, itu sama persis," katanya.
Sehingga kata dia masalah redenominasi ini bagi ritel moderen bukan menjadi masalah meski ada saja peluang hambatannya yang diperlukan sosialisasi terutama dalam transaksi di masyarakat.
"Kalau masyarakat kelas atas ngerti (redenominasi) bagaimana yang di kampung-kampung. Masyarakat kita itu pegang uang dari orang kaya sampai orang gila pegang uang," katanya.
(hen/ang)











































