“Ingat nggak waktu tahun 1991 yang dibilang mengandung emas. Padahal itu alumunium brown. sehingga tidak mudah berubah warna, itu tidak mengandung emas. Itu malah pada dibuatin cincin. Itu dari Rp 100 dijual jadi Rp 1.000 setelah jadi cincin,” ujar Kepala Departemen Cetak Uang Logam dan Logam Non Uang Peruri Purwanto di Pabrik Peruri, Karawang, Jawa Barat, Rabu (29/5/2013).
Purwanto menjelaskan, untuk menghasilkan sebuah uang logam, kandungan nilai bahan baku dan teknologi (nilai interinsik) harus lebih rendah daripada nominal uangnya. Hal ini kemudian yang mendasari penggunaan bahan baku alumunium untuk pecahan uang Rp 500 ke bawah saat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diakuinya, pernah ada mata uang koin yang nilai interinsik atau biaya produksinya lebih tinggi daripada nilai nominalnya. Namun hal tersebut sudah tidak terjadi saat ini.
“Inget uang Rp 100 yang gagang. Itu kalau dicor harganya Rp 700 perak. Pada saat itu yes. Kalau hari ini beda,” tegasnya.
Seperti diketahui, Peruri mampu mencetak sebanyak 1,9 miliar keping uang logam per tahun. Selain itu, Peruri juga menghasilkan produk uang non logam seperti medali dan emas batangan.
(feb/ang)