Krisis Semakin Sering, RI Butuh UU JPSK

Krisis Semakin Sering, RI Butuh UU JPSK

- detikFinance
Jumat, 27 Jun 2014 08:20 WIB
Krisis Semakin Sering, RI Butuh UU JPSK
Jakarta - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengingatkan bahwa ancaman krisis saat ini semakin sering terjadi. Meskipun dalam skala yang tidak terlalu besar, krisis terjadi dalam jarak waktu tahun, bukan lagi dekade. Oleh karena itu, Indonesia harus bersiap salah satunya dengan segera memiliki Undang-undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

Demikian dikemukakan Kartika Wirjoatmodjo, Kepala Eksekutif LPS, dalam temu media di Hotel Mulia, Jakarta, Kamis (26/6/2014) malam. “Darurat perang atau darurat bencana mungkin lebih mudah dijelaskan, karena terlihat di depan mata. Namun darurat ekonomi itu sulit, abstrak,” katanya.

Padahal, lanjut Kartika, Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi yang begitu nyata pada 1998. “Kalau ingat 1998, negara dan rakyat sangat berat ketika itu. Daya beli turun dan sebagainya. Darurat ekonomi itu nyata, tetapi sayangnya publik mudah lupa bahwa krisis itu riil,” tegasnya.

Bahkan saat ini, tambah Kartika, belakangan ini krisis semakin rutin terjadi. “Rutinitas krisis semakin sering walau skalanya lebih kecil dari 1998. Bisa dikatakan 2008 atau 2013 itu krisis, kita sempat goyang,” ucapnya.

Sekarang pun Indonesia harus mulai waspada. Kartiko menyatakan sistem keuangan nasional kini dalam kondisi yang harus mendapatkan perhatian.

“Likuiditas kita bisa dibilang sedang ketat. LDR (loan to deposit ratio) perbankan sudah di atas 90%, suku bunga juga naik bahkan ada yang menawarkan 12%. Fragility Indonesia terhadap global shock masih tinggi,” papar Kartiko.

Utang lur negeri, menurut Kartiko, juga harus dicermati. Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri Indonesia pada April 2014 sebesar US$ 276,6 miliar, tumbuh 7,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jumlah ini terdiri dari utang publik (pemerintah) sebesar US$ 131 miliar dan swasta US$ 145,6 miliar.

“Utang luar negeri swasta sudah melewati utang luar negeri pemerintah. DSR (debt to service ratio) juga mencapai 40%. Artinya income dalam dolar 40% terpakai untuk membayar utang yang jatuh tempo,” jelasnya.

Oleh karena itu, Kartika menyatakan Indonesia sudah  sangat membutuhkan regulasi yang kuat sebagai antisipasi jika terjadi guncangan di sektor keuangan. “JPSK harus menjadi agenda penting. Indonesia perlu untuk selalu siap, kalau ada masalah harus ada lembaga yang memproteksi sistem keuangan,” katanya.

Namun, pembahasan UU JPSK terus tertunda. Bahkan kini seolah terlupakan.

“Adanya kasus Bank Century membuat JPSK seolah-olah dijauhi. Pelaku sektor keuangan risih, diskusinya selalu menyerempet Bank Century. Padahal itu hanya satu kasus, kita tetap harus punya JPSK,” tegas Kartika.

Tanpa ada dasar hukum yang kuat seperti UU JPSK, demikian Kartika, sulit untuk mengambil keputusan ketika krisis sudah di depan mata. “Kami khawatir adanya kasus Bank Century membuat pengambil keputusan menjadi ragu. Bank Century is just one case, jangan sampai menjadi momok,” sebutnya.

(hds/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads