Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, masih menggunakan valuta asing (valas) yaitu dolar Amerika Serikat dalam transaksinya. Terutama untuk pembayaran jasa pelayanan barang dari sisi laut antara petugas pelabuhan, perusahaan pelayaran, dan eksportir-importir.
Kondisi ini disebabkan oleh aktivitas di pelabuhan meliputi kawasan internasional yang melibatkan pihak-pihak dari berbagai negara. Misalnya untuk perusahaan pelayaran, yang kapalnya banyak berasal dari luar negeri.
Pembayaran jasa ke pelabuhan atau Container Handling Charge (CHC) dan penagihan ke eksportir-importir atau Terminal Handling Charge (THC) masih menggunakan dolar AS. Mata uang ini menjadi pilihan karena merupakan mata uang internasional. Hampir seluruh negara menggunakan mata uang tersebut dan bisa dijadikan alat pembayaran yang diterima oleh semua pihak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelindo melalui beberapa anak usahanya merupakan pihak yang sangat dekat dengan transaksi di pelabuhan. Rima mengatakan untuk mengubah praktik yang sudah selama ini berlangsung memang cukup rumit.
Perlu ada sosialiasi yang menyeluruh kepada semua pihak, terutama pelayaran. "Jadi nggak ada kendala selama shipping line itu mau pakai rupiah," ujarnya
Sebelumnya, pengamat ekonomi, Farial Anwar menilai kebutuhan adalah salah satu kecenderungan alasan pihak-pihak yang menggunakan mata uang selain rupiah. Semua realita yang terjadi di lapangan, menurutnya, kadang tak terkait dengan kecintaan terhadap negara.
"Rupiah dibutuhkan, tapi tak dicintai. Makanya sampai sekarang masih banyak yang menggunakan dolar atau yang lainnya. Padahal tak ada kaitan dengan kecintaan," kata Farial.
Fenomena ini terlihat pada kalangan dunia usaha yang setiap hari berkutat dengan kegiatan ekspor impor. Untuk THC, CHC, serta ongkos angkut logistik dengan kapal masih menggunakan dolar AS.
"Biaya di pelabuhan, harta rata-rata untuk angkut petikemas 20 feet misalnya berkisar antara US$ 100-150," imbuhnya.
(mkl/hds)











































