"Total utang valas US$ 16 miliar, jatuh tempo 2022," kata Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto saat ditemui di Gedung BI, Thamrin, Jakarta, Rabu (13/5/2015).
Dwi mengatakan, untuk mengurangi risiko fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), pihaknya akan melakukan transaksi lindung nilai atau hedging atas utang valasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hegding US$ 2,5 miliar untuk working capital," katanya.
Dwi menjelaskan, dengan adanya tren penurunan minyak mentah dan kapasitas kilang di dalam negeri, mau tidak mau Pertamina masih akan mengimpor minyak sehingga butuh banyak valas.
"Sepanjang 2014, impor minyak US$ 32 miliar dan impor produk US$ 25 miliar. Ada lagi, suku cadang dan peralatan harus dibeli di luar negeri," jelas dia.
Dengan mekanisme hedging, lanjut Dwi, maka bisa menekan volatilitas. Implementasi hedging sudah dilakukan Pertamina.
"Delapan puluh persen penjualan kami dalam mata uang rupiah. Perubahan kurs juga membuat kita butuh valas karena pengaruh global dan perkembangan di luar negeri," ujarnya.
Di tempat yang sama, Direktur Keuangan Pertamina Arif Budiman menambahkan, dari total utang valas Pertamina, terdiri dari utang jangka panjang dan pendek.
"Posisi utang kita 2014 US$ 16 miliar, itu yang jangka panjang US$ 9-10 miliar, jangka pendek berubah-ubah setiap hari, sekarang sudah turun US$ 1,5 miliar dan itu berubah setiap hari," sebut dia.
Sementara itu, kebutuhan dolar Pertamina mencapai US$ 120 juta setiap bulannya. Angka ini naik dari posisi sebelumnya yang hanya US$ 80 juta per bulan.
"Kebutuhan dolar US$ 80 juta per bulan, sekarang US$ 120 juta naik karena tergantung posisi," jelas dia.
(drk/ang)











































