Ketua Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) Darmadi Sutanto mengatakan, cara pandang gestun tersebut adalah cara pandang yang salah. Pelaku gestun alias gestuner pada akhirnya bakal dirugikan oleh praktik ilegal yang dilakukannya sendiri.
Dalam diskusi dengan media di Gedung Bank Indonesia (BI) Jakarta, ia mengungkapkan bahwa kerugian yang paling utama, ditimbulkan oleh lebih mahalnya bunga pinjaman yang harus dikembalikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari besaran bunga ini, jelas secara ekonomis penggunaan gestun untuk menarik modal adalah langkah yang berbahaya bagi kesehatan bisnis yang dijalankan.
"Usaha mana yang sanggup menutup bunga 24% per tahun," sambung dia.
Bila dibandingkan dengan pengajuan pinjaman permodalan ke rentenir pun, gestun menurut Darmadi, masih jauh lebih mahal.
"Dateng ke gadai-gadai BPKB kendaraan atau televisi misalnya. Paling besar mereka memberikan bunga 14% per tahun. Kalau dibagi 12 bulan, paling perbulan hanya kena 1,1-1,2%. Jadi gestun itu jauh lebih mahal karena memang dia itu pada dasarnya kredit konsumtif," jelas dia.
Bila dibandingkan dengan pinjaman modal usaha resmi yang diajukan ke pihak perbankan, penarikan modal lewat gestun ini pun dianggap masih jauh lebih mahal lagi.
"Perbankan itu modal usaha rata-rata 10-11%. Jadi per bulan bisa di bawah 1%. Jadi memang terbukti gestun itu jauh lebih mahal," pungkas dia.
(dna/ang)











































