Sebagai solusi, BPJS Kesehatan memiliki 3 opsi yang diatur undang-undang. Pertama, BPJS bisa saja mengurangi manfaat atau fasilitas layanan kepada peserta. Namun hal ini relatif berisiko tinggi.
"Kurangi manfaat. Apakah masyarakat mau manfaatnya dikurangi?" kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris di Kantor Pusat BPJS, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Jumat (2/10/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini sedang didiskusikan dengan BPJS, DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional), dan Menkes (Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek). Dalam undang-undang memang ada penyesuaian setiap dua tahun," ujarnya.
Opsi terakhir ialah meminta tambahan suntikan dana pemerintah. BPJS Kesehatan menyebut pemerintah akan menanggung sebagian besar defisit. Sisanya, kata Fachmi, defisit akan ditutup dari hasil investasi.
"Short term, dengan dana talangan siapkan Rp 5 triliun (2015). Itu suntikan pemerintah. Kita juga punya hasil investasi badan yang akan disumbang, laba badan disumbangkan Rp 1,077 triliun," ujarnya.
Fachmi angkat bicara perihal adanya miss match alias defisit. Saat perhitungan untuk tahun 2014, memang ada penetapan iuran kurang sesuai karena menggunakan data orang sakit waktu itu.
Padahal, jumlah orang sakit atau peserta akan terus bertambah seiring waktu. Akibatnya, ada perhitungan iuran yang kurang relevan untuk kondisi saat ini sehingga beban yang ditanggung BPJS lebih tinggi daripada iuran yang masuk. Data terbaru, 153 juta orang terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.
"Kita beri gambaran. Studi sesaat, dengan kunjungan orang sakit waktu itu. Ini miss leading karena jumlah orang sakit semakin naik," tuturnya.
(feb/ang)