Ketua OJK menuturkan, bahwa setiap satu hektar lahan pertanian padi akan mendapat ganti rugi mencapai Rp 6 juta, dengan premi yang perlu dibayarkan petani sebesar Rp 30 ribu per hektar. Angka premi ini merupakan hasil subisidi dari pemerintah.
Sesuai dengan janji, maka pemerintah mensubsidi 80% dari premi. Pemerintah dikabarkan sudah menganggarkan hingga Rp 150 miliar untuk subsidi premi. Dengan segala idealitas dan niat mulia dari kebijakan ini, perlu dipertanyakan apakah kebijakan seperti ini akan optimal?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penulis akan membahas potensi munculnya kedua masalah tersebut, dikaitkan dengan rancang kebijakan yang dibuat saat ini. Kesimpulan dari analisis berdasarkan dua teori tersebut adalah asuransi untuk pertanian akan sulit untuk optimal.
Pertama, adverse selection. Permasalahan ini umum muncul dalam pasar asuransi. Pembeli jasa asuransi dapat dibedakan menjadi dua tipe, pertama tipe yang berisiko tinggi (high risk type), kedua tipe yang berisiko rendah (low risk type).
Permasalahan ini muncul ketika perusahaan asuransi tidak mampu membedakan antara pembeli yang high risk dengan yang low risk. Alhasil, perusahaan premi akan menetapkan berdasarkan rata-rata probabilitas risiko secara umum, dan menerapkan harga yang sama terhadap tipe yang berisiko tinggi dan rendah.
Harga tersebut akan cenderung terlalu tinggi untuk pembeli yang low risk, sehingga pada akhirnya pembeli yang low risk akan keluar dari pasar (tidak membeli asuransi). Keluarnya pembeli yang low risk, akan meningkatkan risiko secara umum, dan membuat perusahaan asuransi menaikkan harga. Pada akhirnya, keseimbangan pasar asuransi tidak akan tercapai, dan layanan asuransi akan hilang.
Dalam konteks asuransi pertanian, permasalahan tersebut sangat mungkin terjadi. Dengan tersebarnya sektor pertanian di berbagai wilayah, mustahil bagi perusahaan asuransi untuk mendapatkan informasi utuh terkait karakteristik petani.
Pada akhirnya, petani yang merasa bahwa kemungkinan gagal panennya kecil akan menolak untuk membeli jasa asuransi. Hal ini ke depannya akan membebani perusahaan asuransi, yang dipenuhi oleh pembeli jasa yang high risk, sehingga perusahaan asuransi terpaksa meningkatkan premi.
Dan hal ini juga akan membebani petani yang memiliki risiko tinggi, karena premi yang harus dibayar akan semakin mahal.
Permasalahan tersebut semakin besar karena berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan oleh OJK, yang mendapatkan asuransi hanya lahan pertanian padi. Hal tersebut berarti memperkecil cakupan portofolio dari perusahaan asuransi, yang pada akhirnya memperbesar kalkulasi risiko (karena hanya bergantung pada satu produk).
Sebagai benchmark, asuransi pertanian di negara lain, seperti Amerika Serikat, mencakup berbagai produk pertanian seperti jagung, gandum, dan lainnya.
Permasalahan pertama ini nampaknya coba diselesaikan oleh pemerintah melalui jalur subsidi. Pemerintah memberikan subsidi, sehingga harga premi turun, dan petani baik yang berisiko tinggi dan rendah bersedia membeli asuransi. Namun pemberian subsidi akan menggiring terjadinya permasalahan kedua, yaitu moral hazard.
Secara teori, moral hazard adalah perilaku untuk mengambil keuntungan dari kontrak yang asimetris. Dalam konteks asuransi, moral hazard dapat terjadi ketika seseorang sudah membeli polis (ex-post contract).
Ketika sudah merasa aman karena asuransi, pembeli polis akan berperilaku yang justru tidak menguntungkan. Contohnya pada asuransi kesehatan. Seseorang yang sudah terasuransi, akan cenderung lebih tidak hati-hati pada kesehatannya.
Jika dikaitkan pada konteks asuransi pertanian, maka perilaku moral hazard sangat mungkin terjadi, terlebih ketika premi asuransi disubsidi oleh pemerintah.
Contoh perilaku moral hazard yang mungkin terjadi adalah petani tidak mengeluarkan usaha maksimal agar panen berhasil atau menanam di lahan yang memang kurang produktif. Perilaku tersebut mungkin saja muncul, karena tanpa mengeluarkan banyak usaha (seperti membeli pupuk, mengairi sawah, dan lain-lain), petani tahu bahwa ketika gagal panen maka mereka akan mendapatkan sejumlah uang ganti rugi.
Semakin besar subsidi, maka semakin kecil biaya seorang petani untuk memasuki pasar asuransi, hal ini dapat semakin mendorong perilaku moral hazard.
Belajar dari Negara Lain
Indonesia dapat belajar kepada salah satu negara yang sudah lama menerapkan asuransi pertanian, yaitu Amerika Serikat, yang sudah memiliki asuransi pertanian selama lebih dari 50 tahun. Hingga awal 1990-an, jumlah lahan pertanian yang diasuransikan relatif kecil.
Hal ini ditengarai karena adanya adverse selection, di mana hanya petani berisiko tinggi yang akan berpartisipasi dalam asuransi pertanian (Shaik et al, 2008; Goodwin, 1993). Hal tersebut yang menyebabkan premi dari asuransi pertanian menjadi semakin mahal, dan semakin membuat tingkat pertisipasi semakin rendah (Danoghue, 2014).
Semenjak 1994, pemerintah AS mengambil inisiatif dengan meningkatkan subsidi premi dengan harapan tingkat partisipasi akan semakin meningkat. Sejumlah penelitian justru menunjukkan hasil sebaliknya.
Permintaan akan asuransi pertanian tidak dipengaruhi terlalu banyak oleh tingkat premi (Danoghue, 2014; Shaik et al, 2008; Goodwin, 2004; Serra et al, 2003). Tidak hanya gagal meningkatkan partisipasi, kebijakan subsidi ini semakin membebani belanja pemerintah AS.
Tercatat pada 2013, pemerintah AS harus menggelontorkan subsidi sebesar US$ 14 miliar, di mana angka tersebut naik tujuh kali lipat dibandingkan 2000 (Bloomberg, 2013).
Secara lebih spesifik, dengan menggunakan data antara tahun 1997-2002, Danoghue (2014) menemukan bahwa subsidi premi yang diberikan lebih digunakan untuk meningkatkan layanan asuransi yang sudah ada.
Sebagai contoh, apabila sebelumnya sang petani menggunakan layanan kelas 3, maka setelah adanya subsidi dia meningkatkan layanan ke kelas dua.
Dari temuan Danoghue (2014) di atas, kita bisa melihat bahwa subsidi premi tidak efektif untuk mendorong partisipasi asuransi. Pemilik lahan lebih tertarik meningkatkan layanan, yang pada akhirnya dapat memperbesar klaim atau meningkatkan coverage dari asuransi.
Hal tersebut, dengan semakin turunnya biaya premi, maka akan semakin menggiring pemilik lahan ke perilaku moral hazard. Fenomena ini terjadi di Amerika, di mana karena besarnya subsidi premi, petani mulai menanam di wilayah yang sebenarnya tidak cocok untuk pertanian.
Contohnya, pada 2014, 60% dari klaim asuransi gagal panen berasal dari wilayah Praire Pothole, di mana pada dasarnya sebagian besar wilayah tersebut tidak cocok untuk pertanian (The Wall Street Journal, 2015).
Pada akhirnya asuransi pertanian merupakan amanat undang-undang yang harus dijalankan. Berbagai permasalahan yang akan muncul setidaknya dapat diminimalisir dengan sejumlah kebijakan.
Pertama, memperluas cakupan asuransi, tidak hanya untuk petani padi, tapi juga untuk pertanian lain. Hal ini dapat memperbaiki portofolio dari perusahaan asuransi.
Kedua, besaran subsidi perlu ditinjau ulang. Menyubsidi 80% dari total premi sama saja mempersilakan munculnya moral hazard.
Sebagai perbandingan, pemerintah AS saja 'hanya' menanggung 60% dari total premi, itu pun sudah menyebabkan munculnya perilaku moral hazard. Hal tersebut perlu dikaji ulang oleh pemerintah Indonesia ke depannya.
*) Penulis adalah Kandidat Msc Kebijakan Ekonomi Universitas Erasmus Rotterdam
(ang/dnl)











































