Angka inflasi sebagai salah satu indikator BI dalam menurunkan BI rate dinilai sudah dalam posisi rendah. Namun, BI masih dilema untuk menetapkan suku bunga acuannya ke depan.
"Kita menyadari dilema. Di satu sisi terjadi perlambatan ekonomi tapi satu sisi risiko eksternal cukup besar. Tapi dilihat lainnya, inflasi sudah sangat menurun," ujar Direktur Grup Departemen Kebijakan Riset Ekonomi BI Yoga Affandi dalam Seminar βEconomic and Capital Market Outlook 2016β di Assembly Hall, Plaza Bapindo, Jakarta, Senin (7/12/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, inflasi bukan satu-satunya indikator yang menjadi ukuran bank sentral dalam mengambil kebijakan moneternya.
Ada nilai tukar rupiah yang saat ini sedang dalam kondisi volatile. Ini harus dijaga tetap stabil, terlebih akan ada kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed).
Antara pertumbuhan dan stabilitas menjadi dua hal yang cukup dilematis bagi BI.
"Dengan 7,5% BI rate, suku bunga riil sudah sangat besar, harusnya sudah cukup untuk melonggarkan kebijakan moneter. Tapi BI harus jaga stabilitas karena sumbangan stabilitas tertinggi itu ada di nilai tukar," jelas dia.
Menurutnya, kebijakan moneteer BI ini harus dilihat dalam jangka panjang, bukan hanya saat ini. Penurunan suku bunga acuan BI akan banyak berdampak pada naiknya yield obligasi. Sementara untuk pasar saham dan kredit perbankan semua akan tergantung pada sisi permintaan.
"Mengenai saham, penurunan suku bunga mungkin mendorong saham, tapi survei kita itu justru berpengaruh ke yield. Jadi sisi ini harus dilihat longterm, jadi kita konsistensi kebijakan. Jadi kalau harusnya turun ya turun jangan sampai sudah turun ada gejolak politik malah naik lagi, jadi jangan sampai kelonggaran tersebut menimbulkan gejolak," pungkasnya.
(drk/ang)











































