Suka Tidak Suka, RI Masih Bergantung Pada Dana Asing

Suka Tidak Suka, RI Masih Bergantung Pada Dana Asing

Maikel Jefriando - detikFinance
Jumat, 29 Jan 2016 11:30 WIB
Suka Tidak Suka, RI Masih Bergantung Pada Dana Asing
Foto: Rengga Sancaya
Jakarta - Alasan perlambatan ekonomi Indonesia dan munculnya gejolak pada sektor keuangan sejak 2013 lalu selalu terkait dengan situasi global. Kenapa demikian? Karena harus diakui, perekonomian Indonesia sangat bergantung kepada asing.

Demikianlah diungkapkan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, dalam seminar bertemakan Arah Kebijakan Moneter dan Fiskal di 2016, di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Jumat (29/1/2016)

"Kenapa harus memperhatikan eksternal? Funding negara ini banyak datang dari eksternal. Jadi suka tidak suka, terlepas dari nasionalisme kita, funding kita banyak sekali dari luar," jelasnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal ini memang berawal dari kebijakan pemerintah yang merancang Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) dalam postur defisit. Untuk menutupi belanja yang sangat besar, sementara pendapatan yang masih rendah, maka harus ada penarikan utang. Cukup besar dari asing.

"Karena dana di dalam negeri tidak cukup, pemerintah tidak bisa pinjam dari perbankan karena akan berkompetisi dengan yang lain, mau tidak mau dana itu datang dari luar negeri. Sekitar 38% Surat Berharga Negara (SBN) dimiliki asing," terangnya.

Posisi utang tersebut sangat rentan bila terjadi gejolak global. Dana yang tadinya di dalam negeri, bisa secara tiba-tiba keluar dan memberikan pengaruh buruk terhadap perekonomian. Terutama pada kondisi nilai tukar rupiah. Belum lagi ada permasalahan utang luar negeri korporasi swasta.

"Penting kita menjaga confidence dan stabilitas flows ini. Belum lagi kalau kita bicara utang luar negeri swasta. Utang luar negeri harus dikelola dengan baik. Utang luar negeri swasta saat ini US$167 miliar," kata Mirza.

Mirza menambahkan, sejak 2013 kondisi Indonesia sangat dipengaruhi oleh eksternal, yakni kebijakan moneter Amerika Serikat (AS). Dari penarikan stimulus hingga kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS Federal Reserve (The Fed). Ini memicu pelemahan rupiah yang dalam dan turunkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

"Sejak saat itu sampai 2015 terjadi gejolak kurs di seluruh dunia," imbuhnya.

Tidak hanya Indonesia, nilai tukar Brasil melemah 33%, Afrika Selatan melemah 27% dan negara maju seperti Norwegia melemah 40%, Selandia Baru melemah 16%, Australia melemah 32% terhadap dolar AS.

"Hanya 2 mata uang yang menguat yaitu dolar dan swiss franc. Karena saat seperti itu, maka capital outflow dari emerging markets terjadi," jelasnya.

Maka dari itu, Mirza menilai perlu ada upaya menjaga kestabilan perekonomian dalam negeri. Baik berupa pengendalian inflasi, defisit transaksi berjalan dan lainnya.

"Itulah mengapa pemerintah dan BI selalu menjaga prudent. Arti prudent dari BI adalah inflasi harus turun, defisit ekspor-impor harus di level yang kita bisa danai. Periode 2013-2015 adalah periode di mana kita turunkan inflasi, defisit ekspor-impor, dan ULN," papar Mirza. (mkl/wdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads