Bambang menjelaskan alasannya adalah untuk mempertegas konsep bail in. Di mana mengoptimalkan pencegahan terhadap perbankan yang bermasalah, bahkan sebelum krisis sistem keuangan melanda.
"Perkembangan global saat ini masalah sistem keuangan. Kalau untuk menjaga stabilitas keuangan yang diutamakan adalah bail in. Kenapa? karena banyak pengalaman bailout yang tidak berujung baik, makanya semua ke bail in," ungkap Bambang usai rapat dengan komisi XI di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (10/3/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bail in artinya bank, uang besar yang sistemik harus punya modal besar dan mempunyai indikator-indikator lain yang lebih dari yang biasa. Dan kalau ada gangguan di bank tersebut, maka yang bertanggung jawab dahulu adalah pemegang saham atau pemilik bank," papar Bambang.
Kemudian, aturan tersebut juga tidak memberikan ruang bagi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) digunakan untuk menyelamatkan bank. Walaupun konsep awalnya hanya dipinjamkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
"Kita tidak ingin APBN terekspos terhadap permasalah krisis sistem keuangan, makanya UU tidak mencantumkan APBN sebagai sumber pendanaan. Jadi, itu yang menjadi dasar kita melakukan perubahan di beberapa pasal," tegasnya.
Akan tetapi dalam kondisi yang sangat darurat, maka akan dilakukan rapat Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden. Presiden yang akan memutuskan langkah selanjutnya.
"Kalau kondisinya sudah begitu berat tentunya ketika presiden menetapkan langkah penanganan krisis tentunya sudah disiapkan hal-hal yang ditentukan. Memang presiden tentunya punya kewenangan untuk mengambil langkah diperlukan saat kondisi darurat. Presiden bisa menolak atau menerima," pungkasnya. (mkl/drk)