Pemerintah Ajukan Pasal Baru di RUU JPSK, DPR Protes

Pemerintah Ajukan Pasal Baru di RUU JPSK, DPR Protes

Maikel Jefriando - detikFinance
Jumat, 11 Mar 2016 11:55 WIB
Foto: Dina Rayanti
Jakarta - Salah satu usulan pemerintah melalui Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) atau Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) diprotes para anggota komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yaitu pasal 33 ayat 8.

Dalam pasal tersebut, tertulis langkah penanganan yang direkomendasikan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) kepada Presiden antara lain mencakup dukungan pendanaan untuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan penyelenggaraan program restrukturisasi perbankan jika diperlukan.

Ketua Komisi XI Ahmadi Noor Supit langsung menanggapi keras pasal tersebut. Ia pun langsung mempertanyakan, apakah dengan adanya pasal ini, memungkinkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) digunakan untuk penyelamatan bank.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Apakah KSSK, bisa rekomendasikan untuk penggunaan APBN?" Tanya Ahmadi saat rapat berlangsung di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (11/3/2016)

Bambang menjelaskan, saat penyampaian rekomendasi kepada Presiden, maka materi yang diberikan adalah terkait dengan kondisi krisis sistem keuangan atau tidak dan langkah yang harus ditempuh. Termasuk dukungan pendanaan untuk LPS.

"Kami juga sampaikan langkah penanganan. Itu mencakup banyak hal, itu dukungan pendanaan LPS bila diperlukan," terang Bambang pada kesempatan yang sama.

Ecky Awal Muharam, Anggota Komisi XI menilai pasal tersebut sangat rancu. Dikarenakan memberikan ruang bagi pemerintah melakukan bailout. Sementara sudah disepakati mekanisme yang digunakan adalah bail-in.

"Jadi pemberian jaminan dan kemudian pinjaman yang dihapus nggak ada artinya ketika ada langkah lain. Sebuah UU perlu ada kepastian. Yang diajukan ini Perpu tanpa diberikan celah yang tidak pasti. Jangan buat ruang untuk mengajukan Perpu," terang Ecky.

Perdebatan ini berlangsung cukup lama. Beberapa anggota juga menilai keberadaan pasal ini sangat rancu. Sampai akhirnya, pemerintah sepakat bahwa pasal ini kemudian dihapus.

"Kita tidak mengatur kewenangan lain di UU ini. Tidak perlu dicantumkan di UU. Apa Presiden mau melakukan apapun apa itu Perpu itu terserah. Supaya tidak rancu," tutup Ahmadi. (mkl/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads