Chatib Basri: RI Jangan Terus-terusan Dipermainkan Hot Money

Chatib Basri: RI Jangan Terus-terusan Dipermainkan Hot Money

Maikel Jefriando - detikFinance
Rabu, 23 Mar 2016 16:35 WIB
Chatib Basri: RI Jangan Terus-terusan Dipermainkan Hot Money
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - Pemerintah bersama regulator lainnya di pasar keuangan harus mencari cara agar Indonesia tidak begitu saja dipermainkan oleh pergerakan uang panas atau hot money. Ini sudah seringkali terjadi di dalam negeri, namun belum juga ada solusi.

Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyebutkan pola pikir investor sangat sederhana. Investor akan masuk ke negara dengan imbal hasil tinggi dan kabur ketika ada yang lebih menguntungkan. Indonesia jangan sampai terjebak.

"Kalau nggak ada solusi, kita akan terus dipermainkan hot money, yang dia cari higher yield," terangnya dalam seminar ekonomi di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu (23/3/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Chatib menawarkan solusi yang sudah sudah dipergunakan di beberapa negara yakni tobin tax. Ini adalah pajak atas transaksi spekulasi mata uang asing dengan besaran pajak tertentu. Kebanyakan negara menerapakan 0,1-0,5%.

Penerapannya ditujukan kepada investasi jangka pendek atau yang bersifat spekulatif. Jadi ketika ada gejolak yang terjadi di pasar keuangan, dana tersebut tidak bisa pergi begitu saja.

Implementasinya ini memang cukup rumit. Karena membutuhkan regulasi yang selevel undang-undang (UU).

"Mungkin coba pikirkan, kira-kira tobin tax-nya gimana? Biar hot money-nya nggak cepat-cepat keluar," sebutnya.

Solusi lainnya adalah menerapkan biaya tinggi dengan persentase tertentu untuk investor yang meletakkan dana di pasar keuangan dalam jangka pendek. Sedangkan untuk jangka panjang bisa dibebaskan atau dengan biaya yang sangat rendah.

Regulasi ini bisa dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Jadi kalau orang beli saham jangka pendek, fee-nya lebih mahal dari pada kalau dia beli saham jangka panjang. Kan bisa," paparnya.

Chatib menambahkan bahwa kondisi perekonomian global masih penuh ketidakpastian. Dengan arus modal yang masuk ke Indonesia, rupiah bergerak ke arah penguatan. Namun bukan berarti hal tersebut tanpa risiko.

"Sekarang Jepang dan Eropa bunga negatif, investor masuk ke sini, nanti begitu di sana balik, uangnya kembali lagi. Terus kita teriak-teriak lagi. Kita bilang, waduh, kita tidak siap nih dengan normalisasi," pungkasnya. (mkl/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads