Pertama, struktur pasar keuangan. Struktur pasar keuangan kita masih sangat tidak berkembang (under-developed), dangkal dan sangat bank-sentris. Sebagian besar transaksi keuangan masih sangat mengandalkan peran bank, sedangkan sektor keuangan lainnya seperti pasar modal, dana pensiun, asuransi, masih sangat kecil perannya bagi sektor keuangan Indonesia.
"Alhasil, bank-bank memiliki bargaining power sangat tinggi yang membuat kebijakan BI tak efektif jika tidak direspon oleh dunia perbankan. Selain itu, struktur perbankan kita juga tidak efisien, selain terlalu banyak bank, struktur dana pihak ketiga (DPK) juga hanya terkonsentrasi oleh beberapa rekening," Dzulfian Syafrian, Ekonom INDEF dan Kandidat Doktor Durham University Business School β Inggris, Sabtu (16/4/2016)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penguasaan modal oleh segelintir orang atau struktur perbankan yang timpang Ini lah yang menjadi alasan utama inefektivitas kebijakan moneter selama ini karena suku bunga perbankan menjadi rigid dan kaku ke bawah (sulit turun, namun sangat mudah naik). Oleh karena itu, selama struktur perbankan kita masih seperti ini, kebijakan moneter di Indonesia akan kurang menggigit.
Kedua, terkait kredibilitas BI, hal ini sangat tergantung track record BI dalam memprediksi dan mengontrol perekonomian Indonesia selama ini. Jika prediksi BI sering melesat dari target, misalkan target inflasi, maka semakin rendah pula kredibilitas BI di mata publik/pasar.
Selain itu, pernyataan-pernyataan para petinggi BI juga menjadi faktor penting kredibilitas BI ini. Semakin dipercaya dan kredibel berbagai pernyataan tersebut, semakin efektif pula kebijakan yang BI terapkan.
Jadi singkat kata, BI repo rate bisa jadi obat sementara, namun operasi besar berbagai penyakit dalam pasar keuangan Indonesia (baca: struktur pasar keuangan Indonesia yang inefisien, timpang dan dangkal) harus tetap terus digalakkan. (hns/rjo)