Kenapa BI Rate Ditahan? Ini Analisanya

Kenapa BI Rate Ditahan? Ini Analisanya

Wahyu Daniel - detikFinance
Kamis, 19 Mei 2016 20:00 WIB
Kenapa BI Rate Ditahan? Ini Analisanya
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta - Hari ini, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) mempertahankan tingkat suku bunga acuan, atau BI Rate tetap di 6,75%. BI mengambil langkah ini karena adanya risiko-risiko eksternal yang meningkat.

Ekonom INDEF, Dzulfian Syafrian, mengatakan risiko pertama yang ada adalah hasil rapat atau biasa disebut Minutes of Meeting (MoM) para petinggi bank sentral Amerika Serikat (AS), yaitu Federal Reserve (The Fed) pada 27-26 April yang baru saja dirilis.

Dalam dokumen tersebut disampaikan, ada kemungkinan kenaikan suku bunga acuan The Fed atau Fed Fund Rate (FFR) pada Juni 2016.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Terakhir FFR naik sebesar 0,25 persen pada Desember 2015, pertama kali The Fed menaikkan suku bunganya dalam kurun waktu hampir 1 dekade," jelas Dzulfian kepada detikFinance, Kamis (19/5/2016).

Kandidat Doktor Durham University Business School-Inggris ini mengatakan, dampak dari rencana kenaikan suku bunga acuan tersebut, dolar AS langsung mengalami penguatan terhadap sejumlah mata uang termasuk rupiah. Hari ini memang dolar AS mendekati Rp 13.600.

"Dolar AS mengalami penguatan/apresiasi, sedangkan pasar saham Amerika dan juga emas mengalami penurunan. Contoh, Indeks S&P 500 mengalami penurunan sebesar 0,2 persen setelah pengumuman hasil rapat ini, padahal sebelumnya mengalami kenaikan sekitar 0,6 persen. Emas juga mengalami penurunan sebesar 1,2 persen," papar Dzulfian.

Dia menjelaskan, kemungkinan kenaikan FFR ini didorong oleh data-data perekonomian Amerika yang terus membaik, seperti inflasi, tenaga kerja, dan pertumbuhan ekonomi. Inflasi AS, menurut Dzulfian, sepertinya akan mendekati target yang telah ditentukan yaitu mencapai 2%.

Pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi AS juga sepertinya terus menguat. Jika data-data ini terus menunjukkan perbaikan, bukan tidak mungkin FFR akan naik pada Juni nanti.

Lalu risiko kedua adalah ketidakpastian global yang disebabkan oleh gonjang-ganjing keluarnya Inggris Raya (UK) dari Uni Eropa (EU), atau dikenal dengan istilah 'Brexit' yaitu singkatan dari 'Britain Exits'. UK akan mengadakan pemilu untuk menentukan apakah mereka tetap berada di EU atau keluar pada 23 Juni mendatang. Isu Brexit ini sangat menjadi perhatian dunia, khususnya negara-negara Eropa dan AS.

"Risiko eksternal selanjutnya adalah kebingungan pasar atas kebijakan pemerintah China terhadap nilai tukar," ujar Dzulfian.

Sebagaimana diketahui, nilai tukar adalah salah satu senjata utama perekonomian China. Dzulfian menjelaskan, China mendevaluasi mata uangnya dalam rangka memberikan insentif untuk barang-barang ekspornya agar kompetitif, murah dan laku di pasar internasional.

"Selain itu, kita ketahui bahwa China adalah negara pengekspor terbesar di dunia, praktis segala macam hal-hal terkait kebijakan ekspor China, khususnya nilai tukar, pasti akan berdampak pada perekonomian dunia," ungkapnya. (wdl/wdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads