Direktur Keuangan PT Pelindo III, U Saefudin Noer menjelaskan, saat ini perusahaan memiliki global bond atau surat utang luar negeri yang diterbitkan dengan nilai mencapai US$ 500 juta (Rp 6,8 triliun) dengan tenor 10 tahun.
"Kita juga punya exposure (transaksi yang mengandung) currency (mata uang dolar) senilai US$ 120 juta (Rp 1,63 triliun)," kata Saefudin dalam konferensi pers di Kantor Bank Indonesia (BI), Jakarta, Rabu (25/5/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Oleh sebabnya kita ingin mengantisipasi risiko-risiko yang muncul akibat kondisi ini," sambung dia.
Di sisi lain, ada juga risiko yang muncul akibat adanya Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 17 yang membatasi pembayaran mata uang asing melalui pelabuhan.
Menurutnya, kondisi ini akan meningkatkan exposure alias kandungan mata uang asing dalam cadangan keuangan perusahaan karena para pengguna jasa akan banyak melakukan penukaran ke mata uang rupiah dan membuat cadangan valas di PT Pelindo III meningkat.
"Maka perjanjian fasilitas kami ini adalah bagian dari upaya kami memitigasi risiko. Sehingga, ke depan meskipun semakin besar exposure kami kepada mata uang asing, tapi tetap risiko ini dapat terkurangi dengan baik," kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Keuangan Perum Badan Urusan Logistik (Bulog), Iryanto Hutagaol mengatakan, meskipun saat ini pihaknya tidak memiliki utang dalam mata uang asing, namun Bulog tetap sulit menghindari transaksi yang mengandung mata uang asing.
"Rata-rata, kami butuh sekitar US$ 200-300 juta (Rp 2,72-4,08 triliun) dalam setahun," ujar Iryanto.
Dana tersebut, kata dia, diperlukan untuk membiayai kegiatan impor bahan pangan sesuai dengan penugasan yang diberikan pemerintah dalam kurun waktu tertentu setiap tahunnya.
Ia menambahkan, produk pangan yang diimpor ini umumnya digunakan untuk keperluan pengendalian harga ketika terjadi lonjakan harga di pasar seperti beras, jagung, bawang dan lainnya.
"Natural kami sekitar 3-4 bulan selama delivery (pengiriman), kita opening LC (letter of credit) kapan para eksportir menyerahkan dokumennya di situ terjadi, kami harus membeli dalam bentuk dolar. Jadi kami butuh semacam tata kelola untuk risiko," tutur dia.
Pada perusahaan tambang seperti Antam, fasilitas lindung nilai justru diperlukan untuk menjamin ketetapan nilai tukar rupiah atas pendanaan kegiatan operasional di dalam negeri. Demikian disampaikan Direktur Keuangan Antam Dimas Wikan Pramudhito dalam kesempatan yang sama.
"Sebenarnya, meskipun kewajiban kami terhadap pemberi pinjaman dalam bentuk dolar juga tapi pendapatan kami juga dalam bentuk dolar sehingga tak ada masalah currency (nilai tukar mata uang). Tapi ada overhead kami yang dalam rupiah khususnya operasional seperti bayar gaji karyawan dan ada penyertaan modal ke anak usaha dalam bentuk rupiah," ujar dia.
Lantaran perbedaan mata uang antara pendapatan dan biaya operasional, maka perusahaan ini membutuhkan fasilitas lindung nilai alias hedging. Karena ada risiko, bila mata uang rupiah meningkat dan dolar melemah, maka beban biaya dalam mata uang rupiah akan meningkat dan menjadi beban tersendiri bagi perusahaan bila tidak ditangani lebih awal.
"Rata-rata sebulan kita butuh US$ 30 juta (Rp 408 miliar) untuk membiayai kegiatan operasional kita di dalam negeri seperti gaji karyawan dan lainnya," terang dia.
Sama halnya dengan Pelindo III, Direktur Keuangan Pelindo II Iman Rachman menjelaskan, perusahaan membutuhkan fasilitas lindung nilai untuk mengurangi risiko dari penukaran dolar dari para pengguna jasa yang harus melakukan pembayaran dalam bentuk rupiah sesuai dengan peraturan Bank Indonesia.
Selain itu, ada juga exposure atau kandungan dolar yang ada dalam bentuk pembayaran surat utang luar negeri atau global bond.
"Jadi bulan Mei tahun 2015, Pelindo II memberikan komersional global bond sebesar US$ 1,6 miliar (Rp 21,76 triliun) dengan tenor 10 tahun. Ada juga income (pemasukan) dalam bentuk dolar, dari anak usaha kami, port kami yaitu JICT. Jadi butuh hedging," tutur Iman.
Perlu diketahui, korporasi BUMN yang berpartisipasi dalam kontrak hedging hari ini adalah PT Pupuk Indonesia (Persero), PT Perusahaan Gas Negara Tbk, Perum Bulog, PT Pelindo II, PT Pelindo III, Perum Peruri, PT Aneka Tambang Tbk dan PT Semen Baturaja Tbk. Sebelumnya, kontrak hedging juga telah dilakukan pula dengan PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero).
Total nilai penjaminan yang ditandatangani dalam perjanjian pemberian fasilitas hedging tersebut mencapai US$ 1,92 miliar atau setara Rp 26,92 triliun (asumsi US$ 1 = Rp 13.600), yaitu dengan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk sebesar US$ 750 juta, PT Bank Negara Indonesia Tbk sebesar US$ 619 juta, dan PT Bank Mandiri Tbk sebesar US$ 555 juta.
Hedging merupakan fasilitas jaminan atau 'asuransi' nilai tukar mata uang. Dalam praktiknya, fasilitas ini menjamin nilai satu transaksi jangka panjang alias kredit tetap pada nilai awal ketika kesepakatan transaksi tercapai. Cara kerjanya mirip dengan asuransi, sehingga bisa diartikan sebagai asuransi valuta asing.
Misalkan, sebuah perusahaan melakukan pengadaan alat berat senilai US$ 1 juta atau setara Rp 13 miliar saat dilakukan penandatanganan dengan masa pembayaran satu tahun.
Dengan menggunakan fasilitas hedging, maka ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) anjlok atau melemah selama masa pembayaran yang membuat harga dalam kurs rupiah membengkak, maka perusahaan tersebut tetap membayar dengan harga semula yakni pada angka Rp 13 miliar, bukan di atasnya. (dna/drk)