Hasilnya, kita sudah tahu. Anak-anak muda tadi kalah voting dengan perbedaan yang tipis. Kini tinggallah generasi milenial tadi yang mengecam keputusan tersebut.
"Orang-orang tua yang memutuskan, kamilah yang harus menanggung akibatnya," kecam mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitulah di dunia ini kita akan sering menyaksikan masyarakat terbelah. Orang tua vs anak muda. Fundamentalis vs moderat. Radikal vs toleran. Kuno vs up to date. Printed vs digital. Face to face vs online. Technology illiteracy vs technology literacy.
Marc Prensky membagi masyarakat dalam dua kelompok ini: digital immigrant vs digital natives. Sesuai dengan sebutannya, digital immigrant adalah para pendatang di dunia digital. Terdiri dari orang-orang tua yang gagap menghadapi perkembangan teknologi dan kewalahan dalam menyesuaikan diri dengan perangkat digital. Kita menyebut mereka gaptek, atau gagap teknologi.
Sementara, digital native adalah kita atau anak-anak kita, kaum muda yang sejak lahir sudah akrab dengan dunia digital. Aneka gadget mudah dipakai tanpa harus diajari atau membuka buku manualnya.
![]() |
Dua Kelompok
Melayani dua kelompok masyarakat tadi jelas tidak mudah. Apalagi bagi perusahaan yang proses bisnisnya sangat mengandalkan teknologi, seperti bisnis perbankan. Itulah yang kini harus dilakoni oleh bank yang besar. Maka ada begitu banyak pertanyaan yang membuat saya tersenyum saat sejumlah pengamat bertanya apa perlunya PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk memiliki satelitnya sendiri.
Saya sendiri sempat berangkat untuk ikut melihat peluncuran satelit itu, namun sayang kemudian tertunda sehingga harus kembali. Tapi saya ikuti terus bersama putra saya, seorang fotografer yang berada di Guiana Space Center, Kourou, French Guiana, Amerika Selatan.
Minggu ini di Kanada saya juga sedang diajak diskusi seorang banker yang tahu bahwa saya sedang merevisi buku lama saya, Change, dan membahas tentang teori yang sama-sama kami pakai: disruption. Dan kami sepakat, saat ini bank adalah bisnis yang amat disruptive.
Maka memahami siapa pelanggannya menjadi penting. Apalagi persaingan ke depan bukan lagi antar produk, melainkan antar businessmodel.
Kita tentu bisa dengan mudah menerka termasuk dalam kelompok mana nasabah BRI. Hampir pasti mereka kalangan digital immigrant beda dengan nasabah Citibank. Mereka tinggal atau berwirausaha di pelosok desa, di pedalaman dan di pesisir dan pulau-pulau terluar Indonesia. Kita akui saja, akses mereka terhadap layanan keuangan masih sangat terbatas.
Itulah nasabah masa kini yang harus dilayani BRI. Sebagian masih suka datang ke bank dan dilayani tatap muka. Bagi mereka memegang uang tunai atau uang plastik, dalam bentuk kartu kredit atau kartu debit, masih penting. Mereka masih aman dan nyaman bertransaksi secara tunai atau dengan uang plastik.
Sementara, di sisi lain BRI harus menyiapkan diri untuk melayani nasabah masa depan. Mereka adalah kalangan generasi milenial tadi, yang banyak memicu terjadinya disruption di sana-sini. Sebagian dari dari mereka tinggal di kawasan perkotaan.
Seperti apa potret mereka ini? Baiklah saya kutipkan saja hasil survei Millenial Disruption Index (MDI). Survei ini memang dilakukan di Amerika Serikat (AS), melibatkan 10.000-an anak muda yang tergolong kelompok milenial (lahir dalam kurun tahun 1981-2000). Mereka bekerja di 75 perusahaan dari 15 industri yang berbeda-beda. Tapi sengaja saya ambil karena profil dan mimpi mereka ternyata mirip-mirip juga dengan generasi millenial kita.
Begini hasilnya. Sebanyak 53% menganggap produk bank tak banyak bedanya satu sama lain. Lalu, 75% dari mereka menganggap lebih baik pergi ke dokter gigi ketimbang mendengarkan promo dari pihak bank.
Sebanyak 68% dari mereka yakin bahwa dalam lima tahun ke depan cara kita mengakses urusan keuangan bakal sama sekali berbeda. Kemudian, 70% dari mereka juga yakin dalam lima tahun ke depan cara kita membeli barang bakal sama sekali berbeda. Dan, ini yang bakal memicu terjadi "gempa" di industri perbankan, sebanyak 33% dari mereka percaya bahwa mereka tak akan membutuhkan bank sama sekali.
Ini gempa susulannya: 73% dari mereka dengan gembira menyambut layanan keuangan dari Google, Amazon, Apple, Paypal atau Square. Bukan dari bank atau institusi keuangan lainnya.
Itulah wajah generasi milenial versi survei MDI yang dilakukan di AS. Mirip bukan dengan karakteristik generasi milenial kita?
Dua profil nasabah seperti inilah yang harus dilayani BRI. Bagaimana caranya? Di sinilah saya lihat satelit yang baru diluncurkan BRI, BRIsat, bakal memainkan peranannya.
![]() |
Butuh Nyali
Saat ini untuk mereka yang tinggal di pelosok-pelosok desa, BRI menggagas layanan BRI-Link. Ini merupakan layanan perbankan nirkantor atau yang sering disebut layanan laku pandai. Dalam mengembangkan layanan ini, BRI menggandeng warung-warung atau penjual pulsa dan melengkapinya dengan peralatan Electronic Data Capture (EDC). Pengelola warung atau penjual pulsa ini sekaligus menjadi agen-agen BRI. Melalui layanan ini, nasabah bisa membeli pulsa listrik atau ponsel, membayar tagihan listrik, atau transaksi keuangan lainnya.
Sementara untuk mereka yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau terluar, BRI mengembangkan Teras BRI. Ini adalah layanan perbankan dengan menggunakan kapal. Jadi kapal-kapal itulah yang berkeliling mengunjungi nasabah BRI yang tersebar di pulau-pulau terluar.
Selama ini untuk menjangkau mereka, BRI memiliki kendala. Akses telekomunikasi yang berbasis GPS atau CDMA terbatas. Dengan jaringan telekomunikasi yang berbasis satelit, jangkauan BRI bakal lebih luas. BRI bakal semakin mampu menjangkau nasabah-nasabah yang berada di daerah-daerah terpencil dan pulau-pulau terluar.
Mengembangkan dua layanan ini, BRI-Link dan Teras BRI, menurut saya, bukan masalah serius bagi BRI. Namun, mengembangkan layanan untuk generasi milenial adalah tantangan tersendiri.
Merujuk survei MDI, perbankan adalah bisnis yang paling besar peluangnya untuk terdisrupsi. Agar tidak terdisrupsi, BRI harus berani mendisrupsi dirinya sendiri. Berani berubah. Langkahnya, antara lain, berani "membongkar" layanan perbankan konvensional yang high cost. Di antaranya, dengan membatasi pembangunan kantor-kantor cabang—termasuk yang di daerah pelosok. Juga, memangkas produk-produk yang ruwet dan berbelit-belit persyaratannya.
Masih banyak produk perbankan konvensional yang, bagi generasi milenial, sama sekali tidak relevan dengan kebutuhan mereka. Ini harus dipangkas. Pilihannya mudah: disrupting, or being disrupted. Meski mudah pilihannya, saya tahu, mengeksekusinya tidak mudah. Butuh nyali. Dan, saya tahu persis, CEO BRI Asmawi Syam adalah pemimpin yang punya nyali.
Prof. Rhenald Kasali,
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (feb/feb)