BI: Rupiah Lebih Bergantung ke AS dan China, Ketimbang Brexit

BI: Rupiah Lebih Bergantung ke AS dan China, Ketimbang Brexit

Maikel Jefriando - detikFinance
Rabu, 29 Jun 2016 08:15 WIB
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - Pergerakan nilai tukar rupiah dinilai lebih bergantung terhadap kondisi ekonomi di Amerika Serikat (AS) dan China, dibandingkan dengan peristiwa Inggris yang keluar dari Uni Eropa, atau Brexit. Meski rupiah sempat jatuh pasca keputusan Brexit, namun sekarang sudah menguat kembali.

Demikian diungkapkan oleh Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adhitiaswara, di kantor pusat BI, Jakarta, Selasa malam (28/6/2016).

"Pasar keuangan Indonesia, rupiah itu ketergantungannya besar terhadap kebijakan The Fed dan China, dibandingkan kebijakan di Inggris," jelasnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa bulan lalu, Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed), menaikkan suku bunga acuan. Hal ini membuat pelemahan yang cukup dalam terhadap rupiah. Begitu juga yang terjadi saat China sengaja melakukan depresiasi terhadap mata uangnya.

"Waktu The Fed naikkan bunga yang kedua, terjadi pelemahan kurs," jelasnya.

BI akan memantau perkembangan kebijakan yang akan ditempuh oleh kedua negara tersebut. Khususnya AS yang isunya pada Juli mendatang akan kembali menaikkan suku bunga acuan.

"Waktu Brexit juga, Yellen (Gubernur The Fed) menyatakan bahwa AS sangat memperhatikan Brexit dan mereka akan sangat hati hati. Jadi artinya kenaikan suku bunga The Fed tahun ini, kemungkinannya semakin kecil. Ada kemungkinan naik, tapi mengecil, jadi baru naiknya kemungkinan 2017," paparnya. (mkl/wdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads