Hal ini disampaikan dalam kegiatan seminar bersama antara BI dan Federal Reserve Bank of New York di Hotel Sofitel, Nusa Dua, Bali, Senin (1/8/2016).
Pertama ketika mengingat saat krisis datang dan menimbulkan tekanan. Umumnya, kata Boediono, para pembuat kebijakan di level tertinggi serta
pelaku ekonomi lainnya mengambil langkah spekulasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Indonesia pada krisis pertama (1998) yang terjadi kita hampir habis, dan Indonesia menjadi negara yang terpukul dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih. Akan tetapi pada krisis kedua (2008) kita jauh lebih siap dan risikonya bisa diminimalkan," paparnya.
Kedua, adalah relevansi keputusan yang diambil terhadap kondisi krisis. Boediono menuturkan, saat krisis pertama, informasi yang tersedia tidak akurat sehingga keputusan yang diambil saat awal salah. Ini tidak terjadi lagi saat krisis kedua.
"Indonesia salah satu negara yang terpengaruh oleh krisis. Saat krisis kedua datang, kita menjadi yang paling pertama untuk pulih," jelasnya.
Pelajaran ketiga, Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) tersebut melihat dari sisi antar kelembagaan. Menurutnya, saat krisis datang, koordinasi
antar lembaga tidak semulus yang dibayangkan.
"Mereka ada yang cenderung untuk meminimalkan peran masing-masing dalam mengambil alih situasi dan dalam membuat keputusan. Mungkin ini
terkait risiko politik, saling salah menyalahkan. Kondisi tersebut memang benar-benar terasa saat penanganan krisis," terang Boediono.
Menurutnya, pengambil keputusan tidak bisa disalahkan sepenuhnya ketika kondisi yang terjadi tidak seperti yang diharapkan. Apalagi harus berputar-putar di wilayah politik.
"Ini adalah fenomena umum yang terjadi pada negara-negara berkembang yang peran institusinya masih masih belum matang," ujarnya.
Keempat, Boediono menuturkan adalah dukungan dari internal kelembagaan. Ini sangat penting untuk mendukung keputusan dari pimpinan ketika krisis, seringkali sangat sedikit, bahkan tidak ada.
"Masalahnya menjadi akut ketika beberapa pengambil keputusan tidak memiliki pengalaman dengan krisis," sebutnya.
Kelima, adalah dukungan politik terhadap efektivitas kebijakan ekonomi. Boediono menegaskan, ekonomi yang baik hanya dapat dibangun dengan kondisi politik yang baik.
"Mari saya ceritakan, saat krisis pertama, ada komplikasi persoalan politik yang cukup panjang. Sehingga sulit untuk melihat dan menentukan arah kebijakan ekonomi saat itu," papar Boediono.
"Pada krisis kedua, kami sedikit beruntung karena kondisi politik sangat minim. Maka dalam waktu yang kurang dari 9 bulan, ekonomi bisa kembali pada jalur yang seharusnya," tutupnya. (mkl/drk)











































