Minimal Penerbitan Surat Berharga Komersial Rp 10 M

Minimal Penerbitan Surat Berharga Komersial Rp 10 M

Ardan Adhi Chandra - detikFinance
Senin, 24 Okt 2016 14:27 WIB
Minimal Penerbitan Surat Berharga Komersial Rp 10 M
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - Bank Indonesia (BI) tengah menggodok Peraturan BI (PBI) terkait penerbitan Surat Berharga Komersial (SBK) atau commercial paper. SBK bisa menjadi alternatif perseroan untuk mendapatkan tambahan modal dengan menjual surat berharganya dalam tenor 360 hari atau satu tahun.

Minimal penerbitan SBK berdasarkan kajian BI akan disamakan dengan minimal penerbitan Non Core Deposit (NCD) atau deposito jangka pendek, yaitu sebesar Rp 10 miliar.

"Kalau NCD itu minimum Rp 10 miliar, SBK harusnya hampir sama," tutur Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan BI Nanang Hendarsah di Gedung Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (24/10/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Instrumen investasi jangka pendek seperti SBK sangat dibutuhkan di Indonesia. Dengan menerbitkan SBK, perseroan bisa mendapatkan sejumlah dana untuk digunakan membeli perlengkapan kerja dan biaya jangka pendek lainnya.

"Itu akan mungkin bisa sebagai alternatif funding bagi perusahaan-perusahaan membiayai inventory dan short term liabilities yang sifatnya funding jangka pendek," ujar Nanang.

Penerbitan SBK atau commercial paper (CP) juga nantinya bisa menggunakan rupiah atau pun valuta asing (valas). Sehingga investor luar negeri juga memiliki kesempatan yang sama untuk membeli SBK.

"CP kita boleh rupiah dan valas. Nanti akan diperbarui rupiah dan valas," ujar Nanang.

Sedangkan mengenai return dari SBK itu sendiri, BI tidak akan memberikan besaran minimum tingkat bunga. BI berharap perseroan bisa menggunakan acuan dari tingkat bunga yang ada di Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR).

JIBOR adalah rata-rata dari suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan (unsecured) yang ditawarkan dan dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh bank kontributor kepada bank kontributor lain untuk meminjamkan rupiah untuk tenor tertentu di Indonesia.

"Return nggak diatur BI. Kita mengharapkan JIBOR, karena NCD juga kebanyakan dari JIBOR," tutup Nanang. (drk/drk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads