Pola pembayaran konvensional di masyarakat, masih tergolong cukup tinggi padahal pola tersebut memiliki banyak kelemahan.
"Ternyata orang dewasa yang punya rekening tabungan di Indonesia hanya 30%, di-compare dengan Afrika saja kita masih mencolok. Di 2015 naik sedikit yaitu 39,6%. Tapi ini masih sedikit. Jadi tidak salah kalau negara kita ini cash base economy. Sukanya transaksi apa pun secara tunai," ujar Deputi Direktur Program Elektronifikasi dan Keuangan Inklusif Bank Indonesia, Ricky Satria dalam acara seminar Tren Penggunaan dan Peluang Bisnis Uang Elektronik di Ritz Carlton Hotel Mega Kuningan, Jakarta, Selasa (1/11/16).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Trennnya menarik, saat ini ada 1,6 juta transaksi per hari. Ini fenomena yang bagus. Jadi eranya sudah era non tunai semua, sesuai dengan harapan Bapak Presiden untuk mendorong gerakan non tunai," tambahnya.
Hal ini didorong lagi dengan besarnya volume transaksi harian masyarakat di sektor informal, yang melakukan transaksi tunai dengan volume yang tinggi.
"Masyarakat minat menabungnya sangat kecil, terima hari ini, habis hari ini, tapi mereka rutin melakukan pembelian secara bayar, bayar cicilan, beli pulsa dan lain-lain. Ini marketnya besar. Ini bisa kita maksimalkan untuk masuk ke non tunai," ungkapnya.
Banyak peluang bisnis dan tantangan bagi industri perbankan, transportasi, ritel, entertainment dan bahkan bagi pemerintah daerah. Teknologi dan regulasi pun menjadi faktor penentu tren dari uang elektronik di Indonesia.
"Jadi sekarang kita coba ajak mereka masuk ke non tunai, dengan eksisting kondisi mereka. Jadi tidak dibuat rumit. Uang yang ada di dompet bentuknya sama baik dalam bentuk kartu, gelang, hp atau finger print nanti," tukasnya. (drk/drk)











































