Sepenting Apa Trump Sampai Bikin Pusing Petinggi BI Selama 2 Hari?

Sepenting Apa Trump Sampai Bikin Pusing Petinggi BI Selama 2 Hari?

Ardan Adhi Chandra - detikFinance
Kamis, 17 Nov 2016 18:55 WIB
Sepenting Apa Trump Sampai Bikin Pusing Petinggi BI Selama 2 Hari?
Foto: Rengga Sancaya
Jakarta - Dua hari Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) berlangsung lebih banyak membicarakan kondisi global, terutama yang ditimbulkan dari Amerika Serikat (AS) pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Jajaran petinggi BI harus memutar otak melalui berbagai analisa sebelum memutuskan 7 Days Reverse Repo Rate yang akhirnya ditahan pada level 4,75%.

"Dalam dua hari RDG diwarnai pembahasan global, iya," ungkap Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Kantor Pusat BI, Jakarta, Kamis (17/11/2016).

Untungnya, kondisi dalam negeri sedang tidak berulah. Data ekonomi Indonesia terakhir menunjukkan realisasi yang positif. Pertumbuhan ekonomi di atas 5% sampai pada kuartal III-2016.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Inflasi tetap terkendali dan pada akhir tahun diperkirakan sekitar 3,0-3,2% atau berada di batas bawah kisaran sasaran inflasi 2016, yaitu 4Β±1%. Defisit transaksi berjalan menurun dari US$ 5,0 miliar (2,2% PDB) pada triwulan II-2016 menjadi US$ 4,5 miliar (1,8% PDB) pada triwulan III-2016.

"Kondisi domestik semuanya sebetulnya konteks stabil, makroekonomi dalam negeri semua baik," paparnya.

Perry menjelaskan, terpilihya Trump membuat ketidakpastian. Investor masih menerka-nerka kebijakan apa yang akan ditempuh nanti setelah resmi dilantik sebagai Presiden AS. Sementara pada kampanye Trump, ide yang diutarakan kecenderungan bersifat bombastis atau berada di luar jalur yang berjalan sekarang.

"Seluruh policy maker masih menebak-nebak persisnya ke arah mana kebijakan ekonomi AS ke depan dan seperti apa," kata Perry.

Ada tiga hal yang menjadi fokus utama. Pertama adalah kebijakan fiskal AS. Trump sempat mengutarakan bahwa akan memotong tarif pajak sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan belanja agresif, maka risikonya adalah pelebaran defisit. Artinya belanja akan ditutup oleh tambahan utang.

"Ini meningkatkan fiskal defisit dan mendorong suku bunga," ujarnya.

Kedua adalah terkait dengan arah kenaikan suku bunga AS. Dengan posisi sebelumnya, Bank Sentral AS Federal Reserve (The Fed) dimungkinkan menaikkan suku bunga pada Desember 2016 mendatang sebesar 25 basis poin. Tahun depan akan dua kali kenaikan dengan total sebesar 50 basis poin dan di 2018 sebanyak tiga kali kenaikan dengan total 75 basis poin.

"Kita sudah masukkan ke pertimbangan," tegasnya.

Ketiga adalah terkait dengan perdagangan. Trump yang merasa perdagangan bebas selama ini merugikan AS akan cenderung mengarah kepada proteksionis.

"Memang karena hubungan perdagangan ke AS 10% dampak langsung proteksionisme tidak terlalu besar. Dampak tidak langsung kepada China dan negara lain yang akan berimbas kepada Indonesia. Itu masih uncertainty menjelang akhir tahun ini atau awal tahun depan semoga sudah ada arah kebijakan," tandasnya.

Atas pertimbangan tersebut, maka BI memutuskan untuk menahan suku bunga acuan. (mkl/drk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads