Salah satu kewenangan BI adalah menetapkan kebijakan moneter, dengan menaikkan atau menurunkan suku bunga acuannya, yaitu BI 7 Days Reverse Repo Rate.
Sepanjang tahun 2016, BI telah beberapa kali melakukan pelonggaran moneter dengan menurunkan suku bunga acuannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hingga 19 Agustus 2016, BI menetapkan BI 7 Days Reverse Repo Rate sebagai suku bunga acuannya. Penggunaan BI 7 Days Reverse Repo Rate sebagai suku bunga acuan dinilai lebih mencerminkan kondisi pasar, sekaligus dapat memacu penurunan suku bunga simpanan dan kredit perbankan lebih cepat.
BI 7 Days Reverse Repo Rate di awal penetapannya sebagai suku bunga acuan baru BI ditetapkan di level 5,25%. Hingga saat ini penurunan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate sudah terjadi sebanyak 50 basis poin (bps) ke level 4,75%.
"Kita di Indonesia sejak awal 2014 kita mempunyai ruang untuk melakukan pelonggaran moneter, yaitu menurunkan suku bunga acuan," jelas Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta Pusat, Jumat (16/12/2016).
Selain itu, untuk melonggarkan likuiditas perbankan, BI juga mengubah mekanisme Giro Wajib Minimum (GWM). GWM adalah alat yang digunakan BI untuk mengatur likuiditas perbankan.
Jika GWM dinaikkan, maka likuiditas perbankan akan berkurang dan ikut mempengaruhi terbatasnya penyaluran kredit. Sedangkan jika diturunkan, maka likuiditas perbankan akan bertambah dan bisa menambah persentase penyaluran kredit.
Sepanjang 2016, BI sudah melakukan beberapa kali penurunan besaran GWM kepada bank sebanyak dua kali. BI juga akan menerapkan kebijakan GWM primer (GWM Averaging) di 2017 untuk melonggarkan likuiditas perbankan.
"Pelonggaran juga kita lakukan di Giro Wajib Minimum. Jadi likuiditas wajib ditaruh di BI diturunkan," tutur Mirza.
Selain itu, inflasi sepanjang 2016 juga tercatat masih dalam batas yang rendah. Inflasi 2016 diperkirakan berada di dalam target 4% plus minus 1% dan bahkan cenderung mendekati batas bawah di kisaran 3%.
"Inflasi 2015 dan 2016 rendah. Inflasi kita sekitar 3,3% tahun lalu, tahun ini 3% sampai 3,2%. Kita masih tunggu angka Desember," kata Mirza.
Dari sisi defisit transaksi berjalan alias Current Account Deficit (CAD), pelebaran defisit terjaga di level yang rendah di angka 2%. Hal ini jauh berbeda dari CAD di tahun 2013 yang mencapai 4,2%.
"Angka ekspor impor barang dan jasa atau Current Account Deficit (CAD) sudah jauh lebih baik. 2016 ini defisit ekspor impor kita turunkan menjadi 2%," kata Mirza.
Inflasi kumulatif tahunan Januari-Oktober 2016 tercatat hanya 3,31%. Untuk pertama kalinya dalam dua tahun berturut-turut, inflasi Indonesia bisa stabil di bawah 4%.
Inflasi yang rendah dan stabil tentu lebih disukai pelaku bisnis, karena mereka bisa melakukan perencanaan dan proyeksi bisnis dengan lebih baik.
Kestabilan inflasi tidak terlepas dari berbagai upaya yang dilakukan BI sebagai otoritas moneter dan penjaga stabilitas perekonomian Indonesia.
BI juga bersinergi dengan pemerintah menjaga sisi penawaran (supply) seperti pasokan dan distribusi barang. Langkah BI menginisiasi pembentukan tim pengendalian inflasi daerah (TPID) cukup signifikan mengatasi persoalan inflasi dari sisi suplai.
Dalam catatan BI, penguatan rupiah terus berlanjut, meski tertahan pada November 2016 pasca Pemilu di Amerika Serikat. Selama kuartal III-2016, nilai tukar rupiah secara rata-rata menguat sebesar 1,39% dan mencapai level Rp 13.130/US$.
Penguatan nilai tukar rupiah terus berlanjut pada Oktober 2016, secara rata-rata sebesar 0,71% dan ditutup pada level Rp 13.018/US$. Pergerakan nilai tukar rupiah cenderung stabil, yang tercermin dari volatilitas yang menurun. Pada kuartal III-2016, volatilitas nilai tukar rupiah tercatat relatif lebih rendah dibandingkan beberapa negara peers.
Volatilitas rupiah di Oktober 2016 juga lebih rendah dari rata-rata kawasan dan lebih rendah dibandingkan dengan negara peers, seperti Rand Afrika Selatan, Real Brasil, Lira Turki, Ringgit Malaysia, dan Won Korea Selatan.
Stabilitas ekonomi yang selama ini dijaga BI akan menjadi pondasi kuat bagi upaya pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Paket-paket kebijakan yang diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), juga ikut membantu memperbaiki iklim bisnis dan aktivitas ekonomi di dalam negeri, dengan cara mulai dari kemudahan izin berinvestasi hingga kepastian hukum dalam berusaha. Pemerintahan Jokowi juga secara konsisten dan masif membangun infrastruktur di berbagai daerah.
Pada masa Jokowi, anggaran infrastruktur memang dinaikkan secara signifikan. Pada 2015, anggaran infrastruktur mencapai Rp 290 triliun, sedangkan pada 2016 angkanya ditinggikan lagi menjadi Rp 313 triliun. Di 2017, dinaikkan lagi menjadi sekitar Rp 330 triliun.
Indonesia memang sangat membutuhkan infrastruktur untuk mengurangi biaya logistik, mengurangi kesenjangan antar-daerah, menciptakan kantong-kantong ekonomi baru, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. (wdl/wdl)