Salah satu yang menjadi sorotan tajam adalah aplikasi rencana kampanye Presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Trump berencana melakukan pembangunan infrastruktur besar-besaran, dan juga memotong tarif pajak perseroan.
Rencana ini tentu membuat anggaran pemerintah AS ke depan kemungkinan mengalami defisit. Berkurangnya penerimaan negara membuat pemerintah AS menerbitkan surat utang dengan tingkat bunga yang kompetitif untuk menarik minat investor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena bunga surat utang AS naik dan suku bunga kebijakan AS Federal Fund Rate juga naik itu yang membuat kenapa kita akhir-akhir ini di seluruh dunia terjadi penguatan dolar AS," kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta Pusat, Jumat (16/12/2016).
Belum lagi ada rencana kenaikan suku bunga acuan AS Federal Fund Rate (FFR) tahun depan sebanyak 3 kali. Kondisi ini membuat pemangku kebijakan harus lebih berhati-hati. Kenaikan suku bunga acuan AS terjadi seiring membaiknya ekonomi di negeri Paman Sam tersebut.
Menurut Mirza, kenaikan suku bunga acuan AS sebanyak tiga kali di tahun depan bisa dikurangi dampaknya, asalkan besaran inflasi di Indonesia bisa terjaga di level terbawahnya.
"2017 tantangan kita karena eksternal suku bunga naik dan kita di dalam negeri harus bisa menjaga inflasinya," kata Mirza.
Pencabutan subsidi kepada pelanggan listrik 900 VA tahun depan juga harus diwaspadai, agar inflasi tidak merangkak naik dari level terendahnya. Hal ini yang kemudian menjadi pekerjaan rumah BI dan pemerintah, untuk tetap menjaga inflasi di level 4% plus minus 1%.
"Jangan kalau inflasi naik karena akan ada pengurangan subsidi menyehatkan APBN, maka pengurangan subsidi juga harus dibuat sedemikian rupa agar inflasi terukur," tutur Mirza.
Perbaikan harga komoditas pertambangan dan perkebunan di akhir tahun ini diperkirakan akan terus terjadi di tahun mendatang. Hal ini tentu akan menambah nilai ekspor Indonesia untuk tahun depan.
Membaiknya harga dua komoditas tersebut seiring dengan membainya ekonomi China sebagai salah satu negara tujuan ekspor terbesar Indonesia.
"Ekspor dan impor barang dan jasa, kita gembira melihat harga komoditas tambang dan perkebunan naik," ujar Mirza.
Di 2017, Mirza memperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa tercapai di kisaran 5%-5,4%. Hal ini tentu terjadi, asalkan inflasi terjaga di level terendahnya dan perbaikan ekonomi China terus terjadi di tahun 2017.
"Estimasi Bank Indonesia di 2017 kami berkeyakinan walaupun suku bunga Amerika Serikat (AS) meningkat, asalkan bisa jaga inflasi kita dan ekonomi China membaik. Maka kami melihat pemulihan ekonomi di 2016 bisa berlanjut di 2017," tutup Mirza.
Untuk mendukung pemanfaatan potensi sekaligus memperkuat daya lentur perekonomian nasional tahun depan, BI memang akan mengoptimalkan tiga pilar kebijakan utama, yakni kebijakan moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.
Kebijakan moneter tetap difokuskan pada upaya memelihara stabilitas makroekonomi yang sudah tercipta. Fokus kebijakan moneter ini akan disinergikan dengan kebijakan makroprudensial yang diarahkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
Sementara itu, kebijakan sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah akan tetap ditujukan untuk meningkatkan efisiensi perekonomian, serta mendukung berjalannya transmisi kebijakan moneter dan makroprudensial dengan baik.
Terkait hal itu, secara teknis BI akan mengeluarkan sejumlah aturan. Salah satunya BI akan mulai memperkenalkan sistem Giro Wajib Minimum (GWM) Averaging di 2017.
Berbeda dengan sistem GWM yang saat ini berlaku, sistem GWM Averaging hanya mewajibkan bank untuk memelihara rata-rata kecukupan GWM dalam satu maintenance period.
Dengan kelonggaran ini, diharapkan transaksi antar bank akan semakin aktif, gejolak suku bunga dapat lebih terkendali, dan transmisi kebijakan moneter semakin kuat. (wdl/wdl)