Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung usai RDG di Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (19/1/2017).
"Kebijakan Trump, baik fiskal ataupun trade policy-nya. Dan respons dari monetery policy di AS. Dari fiskal, perkiraan kami, kebijakan fiskal yang sangat agresif seperti yang dikampanyekan tampaknya secara ekonomi kurang feasible," kata dia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Artinya ruang manuver bagi fiskal mungkin tidak seagresif yang disampaikan pada kampanye," tambahnya.
Meski demikian, BI tetap mewaspadai berbagai kemungkinan yang terjadi. Pasalnya, kata Juda, akan memberikan dampak besar terhadap negara-negara yang dianggap memanipulasi nilai tukar, seperti China.
Hanya saja, sebagai negara adidaya, Amerika Serikat memiliki kebijakan unilateral untuk mengontrol negara lain yang dianggap kebijakan perdagangannya tidak menguntungkan AS.
"Indonesia sebenarnya tidak masuk negara yang rentan dari kebijakan perdagangan yang dianggap memanipulasi nilai tukar, seperti misal Vietnam, Thailand berisiko besar. China kalau dari kriteria negara currency manipulated, China nggak masuk kena. Tapi kebijakan unilateral bisa saja dilakukan. Ini yang kami tunggu di pidato Trump besok," tandasnya. (mkj/ang)











































