Meskipun Bank Sentral Amerika Serikat (AS) baru saja mengumumkan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menajdi 0,75-1%.
Salah satunya disampaikan oleh Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede. Posisi BI untuk mempertahankan suku bunga diperlukan untuk mendukung kestabilan nilai tukar rupiah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Posisi suku bunga sekarang, menurut Josua juga sudah cukup menjangkau inflasi pada rentang 3-5% pada 2017. Hingga akhir tahun, Josua juga memandang suku bunga acuan cenderung flat.
"Kenaikan suku bunga Fed tidak serta merta harus direspon dengan kenaikan suku bunga bank sentral global termasuk rupiah. Stance kebijakan BI akan fokus pada stabilitas harga dan stabilitas nilai tukar," terangnya.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Ekonom Samuel Asset Management, Lana Soelistianingsih. BI memiliki ruang yang cukup besar untuk menahan suku bunga pada posisi sekarang.
"Kalau melihat kondisi dan kebutuhan dalam negeri, BI masih punya ruang untuk tidak menaikan suku bunga," ujar Lana kepada detikFinance.
Pertimbangan lain adalah kondisi ekonomi pada kuartal I dan II diproyeksi masih akan lambat. Penjualan ritel dalam dua bulan pertama, kata Lana lebih lambat bahkan dibandingkan beberapa tahun lalu yang menandakan konsumsi masyarakat melemah.
Konsumsi masyarakat juga terpengaruh kenaikan tarif listrik yang dijadwalkan pada Maret dan Mei mendatang. Lana meminta pemerintah agar mengkaji ulang, untuk penerapan tarif baru di bulan Mei.
Bila dipaksakan suku bunga naik, maka akan mendorong suku bunga kredit untuk ikut naik. Ini bisa memukul konsumsi masyarakat bertubi-tubi.
"Efeknya pasti akan cepat kalau suku bunga naik. Bunga kredit perbankan juga bakal langsung naik," tandasnya. (mkj/ang)











































