Menurut Ketua AEI Franky Welirang, para anggota dewan komisioner OJK terkadang tidak bisa membedakan perannya sebagai pengawas atau penguasa. Meski dua hal itu sangat berbeda, namun terkadang terasa sama.
"Artinya, kekuasaan OJK itu tentunya mengikuti aturan dan UU yang ada. Jangan dilanggar," tuturnya di Gedung DPR, Jakarta, Senin (29/5/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"BEI adalah PT dan memiliki pemgang saham. Tapi yang menetukan segalanya OJK. Komisarisnya ditentukan OJK, pemegang saham nggak ada kuasa. UU PT kita ada di mana. Ini salah satu contoh. Saya kira itu salah satu saja. Kami mengharapkan anggota yang baru mengerti betul terhadap hal itu. Tidak semena-mena," tegasnya.
Selain itu Franky juga berharap, Dewan Komisioner OJK bisa membuat kebijakan yang tidak berbenturan dengan BEI yang juga regulator pasar modal. Sebab menurutnya UU OJK dan UU Pasar Modal sangatlah berbeda.
"Jadi OJK lebih kondusifkan kondisi pasar modal dan mempermudah BEI melaksanakan promosi penarikan para investor dan para emiten baru. Saya kira itu yang kita harapkan," tukasnya.
Terakhir dia berharap, pemimpin OJK yang baru bisa mengubah ketentuan pungutan yang diterapkan. Sebab selama ini OJK pukul rata pengenaan biaya pungutan seperti pada perusahaan di sektor keuangan.
"OJK memberikan pungutan ke perusahaan keuangan baik listed di bursa maupun tidak. Tapi pungutan itu juga berlaku pada emiten tercatat yang bukan non bank seperti properti, manufaktur, pertambangan, perhotelan. Padahal perusahaan yang di sektor-sektor itu dan tidak listed di bursa tidak dikenakan pungutan. Jadi ini diskriminasi," tagasnya. (mkj/mkj)











































