Wimboh Santoso menyadari semakin banyak negara dengan ekonomi terbuka di dunia membuat pasar keuangan begitu dinamis. Pada satu sisi hal itu bisa menimbulkan kompetisi yang lebih adil, tapi di sisi lain juga berdampak negatif.
Salah satunya adalah krisis. Ketika krisis melanda satu negara bisa berefek terhadap negara lain, meskipun jarak negara tersebut sangat jauh atau tidak ada ikatan ekonomi secara langsung. Maka dari itu perlunya antisipasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia, kata Wimboh telah melewati krisis moneter yang berat pada 1998. Kesalahan waktu itu menurutnya karena kurang pengawasan. Sehingga ketika ada gejolak dari eksternal, fundamental ekonomi yang buruk menimbulkan krisis. Ditambah lagi ada persoalan sosial dan politik. Industri keuangan begitu terpuruk, khususnya perbankan.
Makanya lepas dari krisis, berbagai regulasi disusun agar hal yang sama tidak kembali terulang. Industri keuangan tetap boleh untuk tumbuh tinggi dan cepat akan tetapi harus menjaga berbagai risiko yang bisa saja muncul.
"Ini terbukti ketika krisis 2008, ini menjadi contoh yang bagus. Terlalu liberal ini warning untuk kita agar krisis enggak terjadi di Indonesia," terangnya.
Dalam kondisi terkini, Wimboh memandang industri keuangan sudah cukup kuat. Berulang kali ada gejolak dari eksternal, industri keuangan di dalam negeri masih terhitung tangguh. Artinya tetap terkena pengaruh, namun tidak begitu signifikan.
"Tantangan di sektor jasa keuangan adalah kita harus menjaga pada keseimbangan baru," tegas Wimboh. (mkj/hns)











































