Sebagai badan hukum publik yang didaulat mengelola program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), BPJS Kesehatan telah mengcover 178,2 juta jiwa alias hampir 70% dari total penduduk Indonesia hanya dalam waktu 3 tahun. Atas pencapaiannya tersebut, BPJS Kesehatan pun mendapat kehormatan untuk memaparkan implementasi dan tantangan pengelolaan JKN-KIS di Indonesia kepada peserta yang hadir dari berbagai belahan dunia.
"Jika dibandingkan dengan negara lain, pertumbuhan peserta program JKN-KIS memang terbilang sangat pesat. Jerman membutuhkan waktu lebih dari 120 tahun (85% populasi penduduk), Belgia membutuhkan 118 tahun (100% populasi penduduk), Austria memerlukan waktu 79 tahun (99% populasi penduduk), dan Jepang menghabiskan waktu 36 tahun (100% populasi penduduk)," kata Direktur Kepatuhan, Hukum, dan Hubungan Antar Lembaga, Bayu Wahyudi, yang tampil sebagai salah satu pembicara dalam acara tersebut, yang turut menghadirkan berbagai pakar dan akademisi perwakilan dari WHO, Asian Developing Bank (ASB), World Bank, Jerman, Italia, Jepang, Filipina, dan negara-negara lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Foto: Dok. BPJS Kesehatan |
Ia menuturkan, dulu sebelum ada BPJS Kesehatan, jaminan kesehatan di Indonesia dikelompokkan sesuai masing-masing segmen pesertanya, misalnya ASKES untuk PNS, Jamkesmas untuk masyarakat miskin, Jamsostek untuk pekerja formal, ASABRI untuk TNI dan Polri, serta Jamkesda untuk penduduk daerah. Nyatanya, masih ada sebagian masyarakat yang tidak masuk dalam segmen kelompok-kelompok tersebut sehingga kesulitan memperoleh jaminan kesehatan.
Sejak BPJS Kesehatan hadir 2014 lalu, akses untuk memperoleh jaminan kesehatan pun terbuka lebar. Setiap penduduk Indonesia dijamin Undang-Undang untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas, lebih adil dan merata melalui program JKN-KIS yang dikelola BPJS Kesehatan. Meski demikian, menjadi pengelola jaminan kesehatan terbesar di dunia melalui pendekatan single payer institution bukan berarti tak memiliki tantangan tersendiri.
"Sejumlah tantangan yang kita hadapi saat ini antara lain adanya adverse selection dari sebagian peserta dalam memanfaatkan program JKN-KIS dan adanya 'The Missing Middle'. Pemerintah telah banyak berkontribusi menjaga keberlangsungan program JKN-KIS, salah satunya dengan membiayai pegawai dan masyarakat yang tidak mampu. Namun keberlanjutan program ini tak lepas dari peran masyarakat dari sektor informal yang sehat, produktif, dan mampu. Sayangnya, partisipasi masyarakat dari kalangan tersebut belum maksimal. Inilah yang disebut sebagai 'The Missing Middle'," kata Bayu.
Untuk mengeliminasi The Missing Middle, diperlukan peningkatan jumlah peserta yang mampu. Karenanya, BPJS Kesehatan berkomitmen membuka akses pendaftaran seluas-luasnya bagi masyarakat yang akan mendaftar menjadi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). Selain melalui Kantor Cabang dan website www.bpjs-kesehatan.go.id, kini BPJS Kesehatan juga telah memperluas kanal pendaftaran peserta melalui Care Center 1500400, jaringan Lippo Mall, drop box di Kantor Kelurahan/Kecamatan.
Untuk menjaring lebih banyak peserta Pekerja Penerima Upah (PPU), BPJS Kesehatan juga telah mengoptimalkan sistem E-DABU untuk memangkas waktu pendaftaran calon peserta dari segmen badan usaha. BPJS Kesehatan juga menciptakan mekanisme Coordination of Benefit (CoB) yang dapat mengkolaborasikan benefit non-medis antara BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta yang dimiliki calon peserta mandiri tersebut. (wdl/ang)












































Foto: Dok. BPJS Kesehatan