Namun kini, perlahan satu per satu sektor mulai mengalami pemulihan, baik dari sistem politik, hukum, fiskal dan moneter. Demikian disampaikan oleh Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara di Hotel Kempinski, Jakarta, Rabu (19/7/2017).
Hal ini pun akan ditunjukkan oleh pemerintah saat penyelenggaraan pertemuan tahunan antara World Bank dan International Monetary Fund (IMF) di Bali pada tahun depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Contoh sederhananya, Mirza menjelaskan, saat krisis keuangan tahun 1998 lalu, di sektor fiskal tidak ada yang namanya pembatasan defisit fiskal. Sekarang, hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang (UU), bahwa utang pemerintah terhadap PDB ada batas maksimumnya, yakni 60% terhadap PDB.
Hal ini diimplementasikan dengan baik, lewat rasio utang yang saat ini ada di angka 28%.
"Dulu juga tiap tahun tidak pernah ada target inflasi berapa, sekarang tiap tahun harus ada. Misalnya untuk tahun ini 4+/-1%. Kemungkinan tahun ini 3-4%. Mudah-mudahan bisa lebih rendah dari itu," katanya.
Begitu pula dengan jumlah defisit pada anggaran pemerintah yang juga telah diatur dalam UU. Angkanya tidak boleh lebih dari 3% dari PDB.
"Kalau dulu sebelum tahun 98, itu enggak ada target kayak gitu. Pokoknya supaya ekonomi tidak overheating, import growth dan sebagainya itu harus dikendalikan, agar CAD (current account defisit) nya tidak lebih dari 3%," jelasnya.
"Jadi financial sector reformed, fiscal reformed dan juga real sector reformed, meski masih jauh dari selesai. Sekarang CAD masih defisit, kita ingin seperti negara-negara ASEAN lainnya yang surplus. Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina," pungkasnya. (dna/dna)











































