Implementasi Aspek Prudential Perbankan RI Masih Lemah
Sabtu, 07 Mei 2005 17:11 WIB
Bogor - Direktur Perizinan dan Informasi Perbankan BI Siti Fadjrijah mengatakan, implementasi atas berbagai regulasi yang menyangkut aspek prudential atau kehati-hatian perbankan di Indonesia masih lemah. Oleh karenanya, baik bank sentral maupun perbankan nasional perlu memperbaiki diri. "Soal aturan prudential, menurut IMF, Indonesia sudah cukup bagus dan diatas rata-rata negara Asean. Yang menjadi masalah adalah implementasinya, baik oleh BI maupun perbankan," kata Fadjrijah disela-sela workshop arah konsolidasi perbankan yang diselenggarakan BNI di Hotel Salak, Bogor, Sabtu (7/5/2005).Siti Fadjrijah menambahkan, BI saat ini terpaksa mendesak kalangan perbankan, terutama bank-bank kecil untuk melakukan konsolidasi. Hal ini sangat berbeda dengan negara lain seperti Hong Kong yang menjalankan proses konsolidasi industri perbankannya tanpa paksaan. "Makanya, kita meminta agar perbankan punya modal minimum Rp 100 miliar," kata Fadjrijah.Bank Indonesia berpendapat, dengan ketentuan modal minimum ini, maka fungsi perbankan seperti intermediasi dapat berjalan optimal, terutama untuk membiayai korporasi. "Selama ini, ekonomi Indonesia ditopang oleh UMKM, sehingga hanya tumbuh 4-5 persen. Makanya, untuk bisa tumbuh 7-8 persen, maka harus ada pembiayaan bagi korporasi," tegasnya. BI sendiri, lanjut dia, sangat mengharapkan dari kalangan asosiasi perbankan untuk mengusulkan semacam roadmap konsolidasi, sehingga Bank Indonesia tidak perlu melakukan pemaksaan. "Sekarang ini, asosiasi-asosiasi tidak ada inisiatif. Padahal BI tidak mau memaksa atau mendorong-dorong," tutur kandidat Deputi Gubernur BI ini.Sementara ekonom Indef M Fadhil Hasan mengatakan, proses konsolidasi perbankan di Indonesia sulit dilakukan karena karakter antar bank sangat luas dan berbeda-beda. Misalnya, Bank Mandiri yang menguasai pangsa pasar 21 persen, memiliki karakter corporate super power, BCA yang menguasai pangsa 11,4 persen, memiliki karakter consumer giant dan BNI yang menguasai 11,2 persen memiliki karakter corporate power. Fadhil juga menyebutkan, saat ini jumlah bank di Indonesia meskipun sejak tsunami perbankan mengalami pertumbuhan minus 6,53 persen, tetap masih terbanyak dibanding negara lain. Pada tahun 2004, jumlah bank di Indonesia masih 136, sementara Thailand hanya 38 bank, Korea sebanyak 25 bank, Malaysia 6 bank dan Singapura 3 bank. "Seharusnya tidak ada korelasi antara jumlah penduduk dengan jumlah bank," tegas Fadhil. Fadhil mengaku pesimis pada tahun 2013, di Indonesia sudah terbentuk bank berskala internasional jika perbankan nasional hanya mengandalkan pertumbuhan organik. Apalagi, saat ini terdapat ancaman tsunami perbankan yang berupa akuisisi bank-bank domestik oleh bank-bank regional karena size bank-bank domestik kalah jauh dengan bank-bank regional. "Bank-bank di Indonesia sulit go international atau go regional karena size-nya terlalu kecil," demikian Fadhil Hasan.
(qom/)