Jurus OJK Cegah Serangan Siber ke Industri Keuangan

Jurus OJK Cegah Serangan Siber ke Industri Keuangan

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Rabu, 18 Okt 2017 11:12 WIB
Foto: Dok. OJK
Jakarta - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso, hadir dalam rangkaian pertemuan tahunan Bank Dunia-IMF di Washington DC, Amerika Serikat. Dalam salah satu seminar bertema International Good Practices on Cybersecurity Preparednesss, Wimboh mengatakan risiko serangan siber pada sistem keuangan saat ini sudah semakin besar.

Ini karena pesatnya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di industri jasa keuangan.

"Upaya pencegahan serangan siber tidak dapat dilakukan hanya oleh satu negara saja tetapi harus merupakan inisiatif global karena para hackers beroperasi tanpa mengenal batas negara," kata Wimboh di Washington, Senin (16/10/2017) waktu setempat, dikutip dari keterangan tertulis OJK, Rabu (18/10/2017).

Menurutnya, meningkatnya penggunaan internet oleh pemerintah, pelayanan publik dan bisnis swasta termasuk di industri jasa keuangan bisa terkena serangan siber jika tidak ditangani dengan baik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Di Indonesia, industri jasa keuangan dikategorikan sebagai salah satu infrastruktur penting yang perlu dijaga dari ancaman keamanan dunia maya," kata Wimboh.

Menghadapi hal itu, di dalam negeri OJK berencana membuat layanan informasi keuangan yang bertugas mempercepat pemulihan saat terjadi serangan siber, dan membentuk lembaga pelatihan penanganan serangan siber.

Wimboh menjelaskan, kepedulian industri jasa keuangan di setiap negara terhadap risiko serangan siber ini harus ditingkatkan dengan penguatan manajemen risiko operasional terkait teknologi informasi.

Selain itu, untuk mengantisipasi peningkatan ancaman keamanan siber, OJK telah bergabung dalam inisiatif bersama untuk membentuk Badan Siber Nasional bersama sejumlah kementerian dan lembaga negara seperti Kemenkominfo, Kementerian Pertahanan, Kemenko Polhukam, Kepolisian, dan lain-lain.

Dalam lawatannya memenuhi undangan Bank Dunia ini, Ketua Dewan Komisioner OJK juga menghadiri dua pertemuan tingkat tinggi bersama beberapa perwakilan bank sentral maupun otoritas pengawas keuangan negara lain untuk membahas dua isu besar, yaitu Annual Meeting of the IFC-led Sustainable Banking Network (SBN) dan Regulatory Approaches for Non-Systemic Banks.

Pendanaan berkelanjutan

Wimboh juga menjadi pembicara utama dalam Seminar Annual Meeting of the IFC-led Sustainable Banking Network (SBN) yang berlangsung Senin. Dalam kesempatan di depan 30 perwakilan negara itu, Wimboh mengatakan bahwa pengaruh perubahan iklim dapat mengakibatkan gangguan pada sektor jasa keuangan dan berpotensi memicu krisis ekonomi.

"Perlu adanya global roadmap keuangan berkelanjutan yang diharapkan dapat mempercepat pemenuhan pendanaan untuk tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) dengan meningkatkan peran sektor swasta secara global," kata Wimboh.

Menurut Wimboh, agar lebih efektif, masing-masing negara harus memiliki strategi nasional pengembangan keuangan berkelanjutan yang membangun komitmen bersama dan mengkolaborasikan berbagai instansi, akademisi, industri jasa keuangan dan sektor bisnis.

OJK sudah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51/POJK.03/2017 Tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, Dan Perusahaan Publik.

Sebelumnya pada Desember 2014, OJK juga sudah mengeluarkan roadmap Keuangan Berkelanjutan di Indonesia yang bertujuan menjabarkan kondisi yang ingin dicapai terkait keuangan yang berkelanjutan dalam jangka menengah (2015-2019) dan panjang (2015-2024) bagi industri jasa keuangan yang berada di bawah pengawasan

OJK serta untuk menentukan dan menyusun tonggak perbaikan program keuangan berkelanjutan. Sedangkan dalam forum Regulatory Approaches for Non-Systemic Banks, Wimboh menyampaikan bahwa setiap negara memiliki struktur perbankan, kompleksitas dan ukuran yang berbeda-beda, sehingga standarisasi pengaturan kehatian-hatian bank non-sistemik secara internasional sulit dilakukan.

Sehingga yang lebih diperlukan adalah penyesuaian standar kehati-hatian di masing-masing negara termasuk kerangka pengawasannya dengan karakteristik bank non-sistemik di masing-masing negara tersebut atau asas proporsionalitas. Hal ini agar pengaturan berlebihan yang memicu compliance cost yang tinggi dapat diminimalkan tanpa mengurangi efektifitas pengaturan dan pengawasan. (hns/wdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads