Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan pertumbuhan kredit yang belum meningkat pesat terjadi karena beberapa hal. Pertama dia menyebutkan korporasi yang berekspansi pada 2013 sempat mengalami taper tantrum atau terpengaruh kebijakan Amerika Serikat (AS).
"Sehingga sekarang, dalam masa pemulihan mereka belum perlu tambahan kapasitas," kata Mirza dalam konferensi pers di Gedung BI, Jakarta, Kamis (16/11/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut, menyebabkan belum menggeliatnya kredit investasi di perbankan. Mirza mengatakan, jika pemulihan terus berlanjut maka akan diikuti oleh pertumbuhan kredit investasi.
Selain itu, Mirza mengungkapkan masih lemahnya permintaan kredit bukan karena bunga yang secara rata-rata masih tinggi. Dari data uang beredar BI suku bunga kredit secara rata-rata tercatat masih double digit yakni 11,6%
"Tahun 2012 bunga kredit tinggi kok, tapi kreditnya juga tinggi. Jadi bukan masalah harga. Memang korporasinya sedang tahap konsolidasi," jelas Mirza.
Baca juga: Begini Sebenarnya Kondisi Daya Beli Orang RI |
Sementara itu untuk non performing loan (NPL) atau rasio kredit bermasalah terus mengalami penurunan yakni 2,9% secara gross dan 1,3% nett.
BI menyebutkan pertumbuhan kredit yang melambat per daerah terjadi di Provinsi Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan. Perlambatan berasal dari sektor pertanian, perdagangan dan industri pengolahan.
Akhir tahun, pertumbuhan kredit perbankan diproyeksikan bisa tumbuh di kisaran 8%. Dengan mempertimbangkan masih rendahnya pertumbuhan kredit tersebut, BI menetapkan Countercyclical Capital Buffer (CCB) tidak berubah yaitu 0%. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong upaya bank dalam meningkatkan fungsi intermediasi. (mkj/mkj)











































