Hal ini dinilai lebih mudah dan lebih efisien untuk ketiga negara ini. Pasalnya, saat ini untuk transaksi perdagangan, masih menggunakan dolar AS untuk bertransaksi. Contohnya, ekspor dari Indonesia ke Thailand harus melewati beberapa tahap seperti, Rupiah harus dikonversi ke Dolar AS baru kemudian diubah ke Thailand Baht, begitupun sebaliknya.
Gubernur BI, Agus Martowardojo menjelaskan setelah kedua negara tersebut, BI akan menggandeng negara lain untuk memperluas kerja sama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia, dengan kerja sama ini diharapkan perdagangan bilateral antar negara bisa lebih baik sehingga diversifikasi dari mata uang untuk transaksi ekspor dan impor Indonesia akan lebih beragam.
"Kemudian secara biaya akan lebih efisien bagi pelaku usaha dan tentu ini akan mendorong pendalaman pasar keuangan di Indonesia," ujarnya.
Dia mengatakan, ada potensi untuk bekerja sama dengan negara seperti China, Eropa hingga Jepang. Menurut Agus kerja sama ini harus dengan kesiapan kedua negara. Dia menjelaskan local currency settlement ada tiga jenis antara lain, sepenuhnya difasilitasi oleh bank sentral, kedua difasilitasi bank komersial dan ketiga hybrid yakni gabungan antara otoritas dengan bank komersial.
"Untuk kerja sama kali ini, kami ambil yang ketiga, maka bank sentral menunjuk bank komersial untuk operasional dan bank sentral memonitor," jelas dia.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) China masih mendominasi dalam kegiatan ekspor dan impor Indonesia pada September 2017. Di mana, dari ekspor per September yang mencapai US$ 14,54%, dengan kumulatif dari Januari-September 2017 sebesar US$ 123,4 miliar, sekitar 13,02% ke China dengan nilai US$ 14,57 miliar.
Kemudian diikuti Amerika Serikat, dan Jepang, sedangkan untuk ASEAN 21,60% dan Uni Eropa 10,68%. (dna/dna)











































