Penurunan bunga kredit ini relatif lebih lambat dibandingkan penurunan suku bunga simpanan yang saat ini sudah berada di level 5%-6%.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adinegara, menjelaskan untuk penurunan bunga kredit saat ini tidak bisa mengharapkan dari sisi kebijakan moneter saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan, secara sektoral pertumbuhan ekonomi ini berpengaruh terhadap industri pengolahan sepanjang tahun. Kemudian risiko di kredit konsumsi juga masih tinggi, ini tercermin dari bergugurannya sejumlah gerai ritel dan konsumsi masyarakat yang tumbuh di bawah ekspektasi yakni 4,9%.
Menurut dia, di tahun politik juga ada kekhawatiran yang membuat pengusaha bahkan perbankan ikut wait and see. Bhima menjelaskan, kondisi ini membuat debitur yang kualitasnya bagus masih menahan pengajuan kreditnya. Sementara debitur dengan kualitas yang rendah justru terdesak untuk mengajukan kredit ke perbankan.
"Oleh karena itu stimulus Pemerintah untuk dorong perekonomian menjadi kunci mengurangi resiko penyaluran kredit. Jika siklus ekonomi membaik, bunga kredit bisa lebih rendah," ujar dia.
Kemudian, permasalahan lain masih tingginya bunga kredit tak bisa dipungkiri karena bisnis perbankan di Indonesia masih gemuk. Beban operasional dan pendapatan operasional (BOPO) perbankan masih diatas 80%, dengan NIM rata rata 5% lebih.
Kemudian jumlah bank yang masih terlalu banyak menciptakan persaingan yang tak sehat. Meskipun BI berulang kali turunkan suku bunga acuan tetap saja bank lebih konservatif.
Hingga November 2017, berdasarkan data yang dihimpun detikFinance suku bunga kredit telah mengalami penurunan sebanyak 61 basis poin (bps) atau sekitar 0,6%. (eds/eds)











































