Direktur BNI Adi Sulistyowati menjelaskan, pertumbuhan laba bersih ini ditopang dari segmen business banking dan consumer banking dan perbaikan kualitas aset.
"Dengan perkembangan bisnis tersebut, BNI mampu membukukan laba bersih yang lebih besar daripada industri perbankan nasional yang hanya tumbuh 16,5%," kata Adi dalam konferensi pers tahunan di Gedung BNI, Jakarta, Rabu (17/1/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kualitas kredit BNI tercatat mengalami perbaikan. Ini ditandai dengan menurunnya rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) menjadi 2,3% dari 2016 sebesar 3%.
Cadangan kerugian penyusutan nilai (CKPN) juga tetap terjaga dengan baik, tingkat coverage ratio naik 146% pada 2016 menjadi 148% pada 2017.
Baca juga: Selama Libur Tahun Baru, BNI Buka 202 Outlet |
"Ini juga berdampak pada tingkat kecukupan permodalan atau capital adequacy ratio (CAR) yang tetap terjaga baik pada level, 18,5% sebagai fundamental yang kuat," imbuh dia.
Pendapatan non bunga BNI tercatat Rp 9,78 triliun atau tumbuh 13,9% dibandingkan periode 2016 Rp 8,59%. Pertumbuhan didukung oleh kenaikan pendapatan fee based income atau pendapatan non bunga dari transaksi trade finance dan remmitance.
Jumlah aset BNI per 2017 tercatat Rp 709,33 triliun tumbuh 17,6% dibandingkan periode 2016 sebesar Rp 603,3 triliun. Pertumbuhan aset ini terutama ditopang oleh DPK yang mencapai Rp 516,1 triliun pada akhir 2017, atau naik 18,5% dibanding tahun 2016.
Baca juga: BNI Ikut Salurkan Rp 2,8 Triliun untuk LRT |
BNI menargetkan pertumbuhan penyaluran kredit bisa tumbuh 15% tahun ini. Baiquni mengungkapkan sektor infrastruktur diharapkan bisa menjadi penopang pertumbuhan kredit pada 2018. Kemudian kredit investasi juga diproyeksikan bisa mendorong penyaluran kredit.
"Kita lihat perkembangan ekonomi di Amerika Serikat (AS) yang sudah mengalami perbaikan, meski sempat ada perlambatan di China ini merupakan sinyal investor untuk mulai berinvestasi di Indonesia, tandanya ekonomi membaik, kredit bisa lebih baik," kata Baiquni.
Sepanjang 2017, penyaluran kredit BNI tercatat Rp 441,3 triliun tumbuh 12,2% dibandingkan periode 2016 sebesar Rp 393,3 triliun. Sebesar 78,3% atau Rp 345,5 triliun dari total kredit BNI disalurkan ke segmen bisnis banking. Kemudian 16,2% atau Rp 71,4 triliun untuk konsumer banking. Kemudian 5,5% atau Rp 23,47 triliun disalurkan melalui perusahaan anak.
Untuk kredit segmen bisnis banking, sebesar Rp 134,4 triliun tumbuh 14,9% dibandingkan 2016. Untuk kredit debitu korporasi non BUMN ini termasuk dengan kredit debitur yang berdomisili di luar Indonesia.
Kredit sebesar Rp 84,37 triliun disalurkan pada debitur BUMN. Selebihnya, kredit pada segmen bisnis banking juga disalurkan pada debitur menengah dan kecil, masing-masing Rp 70,26 triliun tumbuh 14,6% dan Rp 56,48 triliun atau tumbuh 11,4%.
Sementara itu untuk pertumbuhan kredit pada segmen konsumer banking BNI didorong terutama pinjaman payroll yang tumbuh 47,1% dengan outstanding per 31 Desember 2017 mencapai Rp 17,7 triliun.
Pinjaman payroll dioptimalkan dengan memanfatkan database debitur korporasi terutama yang berasal dari BUMN dan institusi pemerintah. Selain itu, segmen konsumer banking BNI juga disokong oleh kredit pemilikan rumah (KPR) yang mencapai Rp 37,07 triliun dan kartu kredit Rp 11,64 triliun.
Rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) BNI tercatat 2,3% lebih rendah dibandingkan 2016 sebesar 3%. Baiquni menjelaskan, penurunan rasio NPL dilakukan dengan cara hapus buku atau write off. Hal ini dilakukan, karena adanya debitur yang dianggap tidak mampu untuk membayar.
"Kami melakukan write off ini untuk yang gagal diserap sejak 2015. Kemudian dilakukan restrukturisasi dan dilakukan penagihan dan ada yang berhasil dan tidak," imbuh dia. (ang/ang)











































