"Kalau dia baru mengajukan izin, maka dia harus memenuhi yang 49%:51%. Tapi kalau dia sudah beroperasi, maka dia kita beri kelonggaran tatap dengan porsi pemegang saham yang sekarang," jelas Onny Widjanarko, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI saat berbincang santai, di Gedung Bank Indonesia, Thamrin, Jakarta, Senin (7/5/2018).
Ia mencontohkan, bila ada perusahaan yang sudah terlanjur beroperasi dengan porsi pemegang saham asing 80% misalnya, maka BI memberikan kelonggaran dengan tidak mewajibkan penerapan aturan tersebut terhadap perusahaan yang bersangkutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, ada syaratnya. Bila perusahaan yang bersangkutan melakukan aksi korporasi seperti pergantian pemegang saham, jual beli saham dan aksi korporasi sejenisnya, maka perusahaan tersebut wajib memenuhi syarat kepemilikan saham seperti yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 20/6/PBI/2018 yang diundangkan tanggal 4 Mei 2018 tersebut.
"Artinya misalkan dia pemegang sahamnya 80% asing, maka kita izinkan dia tetap berjalan selama tidak ada aksi korporasi. tapi kalau ada aksi korporasi, misalkan ada perpindahan pemegang saham atau ada jual beli saham, maka ia wajib memenuhi aturan yang 51%:49% tadi," tandasnya.
Dengan adanya aturan ini, maka porsi pemegang saham asing dalam perusahaan uang elektronik tidak boleh lebih dari 49%. Atau dengan kata lain maka pemegang saham dalam negeri baik perorangan maupun badan usaha harus lah lebih dominan.
"Artinya kita tidak membatasi kalau asing mau masuk. Tapi tetap yang harus mengendalikan orang Indonesia dong," tegas dia. (dna/zlf)











































