Mahathir menyebut akan memotong gaji kabinetnya sebesar 10% untuk mengurangi jumlah utang negaranya yang sebesar 1 triliun ringgit.
Sedangkan warga Malaysia yang bernama Nik Shazarina Bakti memprakarsai aksi yang diberi nama 'Please Help Malaysia'. Dia mengampanyekan aksi tersebut lewat media sosial dan situs Go Get Funding.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aksi tersebut mendapat perhatian putri Mahathir Mohamad, Marina Mahathir. Dia pun mengapresiasi dan ikut mendukung Shazarina. Menurutnya aksi itu menunjukkan betapa warga Malaysia begitu mencintai negara mereka.
"Saya tahu banyak orang ingin membantu dengan utang besar kita. Ini menunjukkan betapa banyak orang Malaysia mencintai negaranya," tulisnya dalam postingan di Facebook.
Tak hanya warga, anggota parlemen Malaysia pun ikut menyumbangkan gajinya ke Kementerian Keuangan. Nga Kor Ming, anggota parlemen Malaysia yang mewakili wilayah Teluk Intan mendonasikan gaji pertamanya untuk membantu pelunasan utang negaranya yang sebelumnya dipimpin Najib Razak.
Lalu bagaimana hal tersebut juga diterapkan di Indonesia, mengingat jumlah utang pemerintah berjumlah Rp 4.180,61 triliun per April 2018. Apalagi, jumlah masyatakat Indonesia banyak sekitar 260 juta.
Apakah Indonesia akan menerapkan kebijakan tersebut? Simak selengkapnya di sini:
RI Bisa Tiru Cara Malaysia Lunasi Utang
Foto: Grandyos Zafna
|
"Idenya cukup brilian dengan membuat crowdfunding pelunasan utang. Meskipun hasilnya tidak seberapa dibandingkan total utang pemerintah yang akan dilunasi," kata Bhima saat dihubungi detikFinance, kemarin.
Bhima mengatakan, penggalangan dana untuk melunasi utang juga menjadi bagian pencerdasan publik terutama generasi muda. Sebab, utang jangka panja bukan menjadi stimulus perekonomian melainkan menjadi beban ke depannya.
"Karena utang adalah pajak yang ditunda, jika pemerintah berutang dalam jumlah besar sekarang, ke depannya akan dilunasi dari pajak generasi selanjutnya. Jadi model utang seperti itu harus dikurangi," terang Bhima.
Dengan demikian, menurut Bhima, pemerintah bisa mempertimbangkan menggalang pendanaan seperti aksi warga Malaysia yang membantu pemerintahannya demi kurangi utang negara.
"Indonesia harusnya bisa memulai hal yang sama, karena secara aplikasi fintech crowdfunding banyak pemain yang siap memfasilitasi," tutur dia.
Pemerintah Belum Ingin Tiru Malaysia
Foto: Grandyos Zafna
|
"Saya kira kasus di Indonesia dan Malaysia pasti tidak sama, dan data-data di Indonesia data ekonomi termasuk utang tidak ada yang mengkhawatirkan, sehingga seluruhnya masih bisa dikelola oleh pemerintah dengan menggunakan instrumen-instrumen yang biasa di gunakan," kata Erani saat dihubungi detikFinance pekan lalu.
Erani mengungkapkan, pemerintah juga telah mengelola dan menjaga perekonomian sesuai APBN. Contohnya utang, rasionya terhadap produk domestik bruto (PDB) baru mencapai 29% atau masih jauh dari batas UU yang sebesar 60%.
"Kembali kepada pertanyaan tadi, saya rasa tidak ada hal yang diperlukan oleh pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang di luar domain pemerintah itu, seperti yang dikerjakan di Malaysia," tambah dia.
Menurut Erani, aksi masyarakat yang melibatkan pemerintah sejauh ini lebih pada isu-isu yang langsung menyentuh kepada masyarakat, mulai dari kesehatan, pendidikan, bukan pada soal utang pemerintah.
"Kalau isu ekonomi itu masih ada dalam koridor kesanggupan pemerintah, toh pada akhirnya isu membayar utang dan seterusnya itu juga selama ini berasal dari warga misalnya dari disiplin membayar pajak," kata mantan Inspektur Jenderal Kementerian Desa PDTT itu.
DPR Tidak Setuju
Foto: Lamhot Aritonang
|
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan utang pemerintah per April 2018 mencapai Rp 4.180 triliun.
"Indonesia tidak perlu latah dan ikut-ikutan cara Mahathir mengambil upaya populis," kata Misbakhun saat dihubungi detikFinance.
Misbakhun menjelaskan utang pemerintah sudah dibahas dengan DPR. Dia juga menilai, aksi-aksi penggalangan tersebut juga menjadi suatu pembelajaran bagi masyarakat.
"Seharusnya masyarakat di edukasi dengan benar bahwa ada aspek-aspek yang positif dan manfaat yang besar dari kebijakan utang yang diambil oleh negara seperti Indonesia dalam kebijakan utang sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan," jelasnya.
Sehingga, Misbakhun bilang, jika ingin mengatasi utang maka bukan hanya dengan saweran tetapi dengan membayar pajak kepada negara.
"Jadi sebesar berapapun utang, negara tidak akan pernah negara meminta setiap individu warga negara untuk membayar utang negara karena mekanisme dan sistemnya sudah ada, yang utama adalah rakyat patuh dan taat dalam membayar pajak," tutur Misbakhun.
Halaman 2 dari 4