(BI) pada rapat dewan gubernur (RDG) periode Juni akhirnya menaikan suku bunga acuan atau BI 7 days repo rate sebesar
(bps) menjadi 5,25%. BI menilai langkah peningkatan ini dilakukan sebagai langkah pre-emtive, front loading dan ahead of the curve.
Pada RDG sebelumnya pada Mei, BI sudah menaikkan bunga acuan sebesar 50 bps. Hal ini juga dilakukan sebagai langkah untuk stabilitas nilai tukar Rupiah.
Selain itu suku bunga deposit facility 50 bps juga naik menjadi 4,5% dan suku bunga lending facility naik menjadi 6%.
"Kebijakan tersebut tetap ditopang intervensi ganda di pasar valas dan surat berharga negara untuk jaga kebutuhan likuiditas di pasar uang rupiah atau pasar swap antar bank. Diharapkan bisa jaga stabilitas ekonomi dan jaga stabilitas rupiah," ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo.
Praktis, hanya dalam kurun waktu enam minggu terakhir, BI sudah menaikkan suku bunga acuan hingga tiga kali. Berikut ulasan lengkapnya.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut kenaikan ini diharapkan bisa menarik masuknya dana dari investor asing.
Perry mengungkapkan, kenaikan bunga acuan ini bisa membuat imbal hasil surat berharga negara (SBN) menjadi lebih kompetitif. Kemudian instrumen untuk pendapatan tetap yang meningkat juga bisa menambah pasokan dolar AS dan rupiah bisa lebih stabil.
"Kenaikan 50 bps ini bisa menarik inflow dana asing lebih banyak. Khususnya dalam bentuk fix income. Kalau inflow sudah masuk, khususnya fix income seperti SBN maka bisa menambah suplai dolar (AS) dan mendukung stabilitas nilai tukar rupiah," ujar Perry dalam konferensi pers di Gedung BI, Jakarta, Jumat (29/6/2018).
Sejak awal tahun, BI telah menaikkan bunga acuan hingga 100 bps atau 1%. Menurut Perry langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi tekanan dari eksternal. Dia menjelaskan, kondisi ekonomi Indonesia saat ini dalam kondisi yang baik karena laju inflasi hingga Mei 2018 semakin terkendali di posisi 3,23% secara tahunan.
Sedangkan untuk tekanan eksternal bersumber dari ekspektasi kenaikan bunga The Federal Reserve dan rencana normalisasi kebijakan moneter Bank Sentral Eropa pada September 2018. Selain itu perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) juga turut mempengaruhi.
"Keputusan kenaikan bunga ini merupakan kebijakan moneter lanjutan yang pre-emptive (antisipatif), ahead of the curve (selangkah lebih maju) dan front loading," kata dia.
Dari data Asian Development Bank (ADB) hari ini, yield SBN bertenor sepuluh tahun masih tercatat tinggi di level 7,89%. Angka ini bahkan tertinggi dibandingkan negara Asia lainnya, seperti Filipina yang sebesar 6,4%, Vietnam sebesar 4,8%, Malaysia 4,2%, dan China sebesar 3,6%.
Kemudian hingga akhir Mei lalu, total utang yang berasal dari surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 3.401,77 triliun atau naik 15,54% secara tahunan (yoy).
Adapun SBN ini masih didominasi oleh rupiah sebesar Rp 2.408,4 triliun atau tumbuh 11,32% (yoy), yang terdiri dari surat utang negara (SUN) sebesar Rp 2.028,92 triliun naik 10,61% (yoy) dan surat berharga syariah negara (SBSN) sebesar Rp 379,48 triliun atau naik 15,24% (yoy).
Sementara itu, SBN yang didominasi valuta asing sebesar Rp 992,87 triliun atau naik 27,2% (yoy), terdiri dari SUN sebesar Rp 766,63 triliun atau naik 26,565 (yoy) dan SBSN sebesar Rp 216,24 triliun atau naik 29,86% (yoy).
Nilai tukar rupiah mengalami penguatan terhadap dolar AS. Penguatan rupiah terjadi pasca kenaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate menjadi 5,25%.
Dolar AS perlahan turun dari level tertingginya hari ini di Rp 14.410 menuju level Rp 14.375. Tak berhenti di situ, mata uang Paman Sam kembali turun ke level Rp 14.305 dan bahkan sempat menyentuh level terendahnya di Rp 14.291.
Dikutip dari Reuters, Jumat (29/6/2018) pagi tadi, dolar AS sudah berada di level Rp 14.410. Dolar AS bergerak dari Rp 14.380 dan melonjak ke level tertingginya di Rp 14.410.
Bank Indonesia (BI) mencatat, Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami depresiasi sebesar 5,72% sejak awal tahun.
"Kalau perkembangan nilai tukar year to date (ytd) dari Desember 2017 sampai sekarang ini rupiah terdepresiasi 5,72% year to date," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Kantor BI.
Pelaku pasar modal diyakini menyambut baik keputusan Bank Indonesia (BI) yang menaikkan suku bunga acuan BI 7 days repo rate sebesar 50 basis poin menjadi 5,25%. Terbukti dari menguatnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hari ini.
Hingga pukul 15.00 waktu JATS, IHSG tercatat sudah meroket 1,48% dari penutupan kemarin ke posisi 5.751.
Menurut Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta, pelaku pasar modal saat ini memang mengharapkan adanya kenaikan suku bunga acuan. Kondisi ini terbilang anomali, sebab biasanya pasar modal cenderung menyukai suku bunga yang rendah.
"Ya memang ini agak berbeda. Tapi pasar melihat kondisi saat ini diperlukan kebijakan moneter untuk jaga kestabilan moneter," tuturnya kepada detikFinance, Jumat (29/6/2018).
Menurut Nafan, dengan kondisi dolar AS yang sudah tembus Rp 14.400 memang dibutuhkan kebijakan moneter untuk menjaga kestabilan nilai tukar.
Memang, kenaikan suku bunga acuan menjadi pemberat pertumbuhan ekonomi. Namun jika rupiah tidak diselamatkan maka industri juga yang akan terkena dampaknya.
"Kestabilan moneter efeknya meningkatnya kepercayaan pelaku pasar. Ini memang harus digalakan sehingga industri akan mendapatkan dampak positifnya," tambahnya.
Nafan juga yakin pelemahan rupiah tidak memberikan sentimen negatif terhadap pergerakan IHSG. Sebab kondisi itu lebih dikarenakan dolar yang menguat terhadap seluruh mata uang dunia.
"Besok juga saya yakin IHSG masih melanjutkan penguatannya setelah rebound hari ini," tuturnya.
Ekonom LPEM FEB UI Febrio Kacaribu memprediksi Bank Sentral akan menaikkan suku bunga. Hal ini dilakukan untuk meredakan pelemahan nilai tukar Rupiah akibat penguatan dolar AS yang makin perkasa.
"Kami melihat bahwa BI perlu menyamai pengetatan yang dilakukan oleh The Fed atau menaikkan bunga setidaknya sebanyak empat kali hingga Desember 2018. Kenaikan ketiga perlu dilakukan pada rapat kali ini untuk memberi sinyal kuat ke pasar keuangan bahwa BI berkomitmen untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah," kata dia dalam keterangannya, Jumat (29/6/2018).
Dalam riset dijelaskan kenaikan imbal hasil aset berdenominasi dolar AS dan defisit neraca perdagangan Indonesia masih menjadi faktor utama pelemahan Rupiah.
Faktor pertama dipicu oleh sinyal the Fed yang makin kuat untuk menaikkan suku bunga sebanyak empat kali tahun ini, atau lebih ketat dibandingkan ekspektasi pasar di bulan lalu yaitu tiga kali kenaikan suku bunga.
Menurunnya perbedaan imbal hasil antara aset berdenominasi mata uang negara berkembang dan dollar AS mendorong arus modal keluar di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Relatif terhadap negara berkembang lain, pelemahan nilai tukar yang terjadi di Indonesia hingga saat ini masih cukup terkendali, meskipun nilai tukar US$ terhada rupiah menembus batas psikologis 14.000.
Sinyal the Fed untuk mengetatkan kebijakan moneter yang melebihi ekspektasi pasar bulan lalu serta berlanjutnya defisit neraca perdagangan Indonesia mengubah kondisi yang dihadapi Bank Indonesia.
"Bank Indonesia sebenarnya masih memiliki ruang yang cukup untuk melakukan intervensi langsung di pasar valas, namun tekanan yang timbul dari perbedaan imbal hasil antara aset dalam mata uang US$ dan Rupiah serta peningkatan nilai impor membuat ongkos untuk menahan pelemahan Rupiah menjadi sangat mahal," ujar dia.