Wacana ini disebut memiliki banyak risiko, mulai dari risiko gagal bayar yang berujung ke kredit macet. Selain pembayaran yang macet, jalan pun akan macet karena orang semakin mudah untuk mendapatkan kendaraan melalui jalur kredit.
"Ada risiko untuk kemacetan dari rencana kebijakan itu. Memang, soal kemacetan ini yang harus diatur melalui regulasi pada setiap daerah," kata Bhima saat dihubungi detikFinance, Kamis (23/8/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengungkapkan, seperti di Jakarta contohnya jumlah penduduk sebanyak 10 juta tapi jumlah motor sudah mencapai 13,9 juta unit. Ini artinya jumlah kendaraan bahkan melebihi jumlah penduduk di suatu kota.
"Untuk Jakarta harus ada pembatasan kendaraan bermotor karena macet bisa blunder ke produktivitas ekonomi," ujarnya.
Sementara daerah lain di Indonesia bagian Timur rasio kepemilikan kendaraan bermotornya masih kecil. Di situlah harus didorong ekspansi kreditnya, dp 0% cocok di Sulawesi, Maluku dan Papua. Sehingga tiap daerah punya treatment yang berbeda dalam mengatasi kemacetan.
Bhima juga menilai, kebijakan OJK terasa kurang efektif. Pasalnya saat ini konsumsi secara umum memang masih lambat. Pemberian obat di hilir dinilai tak akan mampu mendorong permintaan di hulu.
"Padahal faktor lemahnya permintaan ada di hulu karena masyarakatnya tak mengalami kenaikan pendapatan yang signifikan. Sektor utama di Indonesia mulai dari sawit, karet dan industri manufaktur juga masih lemah," ujarnya.
Deputi Komisioner Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK M Ihsanudin menjelaskan aturan ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kredit kendaraan melalui leasing di Indonesia.
OJK sebelumnya sudah memiliki Surat Edaran OJK No.47/SEOJK.05/2016 tentang besaran uang muka pembiayaan kendaraan bermotor bagi perusahaan pembiayaan baik syariah dan konvensional. Dari surat tersebut aturan uang muka berkisar dari 5% -25%. Seluruhnya tergantung dari kesehatan perusahaan. (kil/zlf)